DETIK-DETIK KEWAFATAN RASULULLAH
DETIK-DETIK KEWAFATAN RASULULLAH
Ketika merasa bahwa ajalnya sudah dekat, Rasulullah SAW mengumpulkan
para sahabat di kediaman isteri tercintanya, Sayyidah Aisyah RA. Setelah
semua berkumpul, beliau memandang mereka dengan tatapan mata yang
sendu. Air mata beliau menitis tiada berhenti.
Di tengah
tangisnya beliau bersabda, “Marhaban bikum, semoga Allah SWT melimpahkan
rahmat-Nya kepada kamu. Aku berwasiat kepada kamu, bertaqwalah kepada
Allah SWT. Telah dekat perpisahan dan telah hampir waktu pulang kepada
Allah Ta?ala. Hendaklah Ali memandikanku, sedangkan Fadlal bin Abbas dan
Usamah bin Zaid yang menuangkan air. Kemudian kafanilah aku dengan
kainku jika kamu menghendaki, atau dengan kain putih buatan Yaman. Jika
kamu selesai memandikanku, letakkan jenazahku di tempat tidur di rumahku
ini, diatas pinggir lubang kuburku. Kemudian bawalah aku keluar sesaat.
Maka yang pertama kali berselawat kepadaku adalah Allah Azza wa Jalla,
lalu Jibril, Mikail, Israfil, Izrail bersama pasukannya, kemudian
segenap malaikat. Sesudah itu barulah kamu masuk rombongan demi
rombongan, dan sembahyangkanlah aku.”
Begitu mendengar wasiat
Nabi, para sahabat tidak kuasa menahan tangis. Mereka menjerit…..”Ya
Rasulullah, Tuan adalah rasul kami, penghimpun dan pembina kekuatan
kami, serta penguasa segala urusan kami. Jika Tuan pergi, kepada
siapakah kami kembali?”
Rasulullah SAW bersabda, “Aku
tinggalkan kamu di jalan yang terang. Aku tinggalkan untuk kamu dua juru
nasihat yang berbicara dan yang diam. Penasehat yang berbicara ialah
Al-Quran, penasihat diam ialah maut. Jika kamu menghadapi persoalan yang
musykil, kembalilah kepada Al-Quran dan sunnah; dan jika hati kamu
kusut, tuntunlah dengan mengambil i?tibar tentang peristiwa maut.”
Sejak itu, akhir bulan Shafar, Rasulullah SAW jatuh sakit. Semakin lama
penyakitnya semakin berat. Suatu saat, ketika para sahabat berkumpul di
kediaman Sayyidah Aisyah RA untuk menjaga Rasulullah SAW secara
bergantian, Rasulullah SAW bangun dari tempat tidurnya dengan mengenakan
ikat kepala, pertanda sakitnya masih berat.
Didepan para
sahabat, beliau bersabda, “Wahai para sahabatku….. Sungguh, demi Allah,
saat ini telah kulihat Telaga Haudh di hadapanku. Demi Allah, aku tidak
takut syirik akan menimpa kamu setelah aku wafat. Tetapi yang
kutakutkan, kamu saling berebut dunia, saling hantam memperebutkan
kekayaan. Itu yang aku takutkan.” Haudh adalah salah satu telaga di
syurga.
Dari hari ke hari, kesehatan Nabi semakin memburuk, dan
para sahabat mulai cemas. Suatu hari, Isnin Subuh, sahabat Bilal
mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi. Tapi hingga beberapa waktu Nabi
belum juga hadir. Ia lalu menyusul ke rumah beliau. Didepan pintu rumah,
ia mengucapkan salam, “Assalamu’alaika, ya Rasulullah.”
Nabi
tidak menjawab, tapi Sayyidah Fatimah RA keluar sambil menjawab salam,
“Alaikassalam….. Kalau ada perlu lain kali saja. Rasulullah sedang
demam.”
Mendengar jawaban itu, Bilal tidak faham. Ia lalu
kembali ke masjid, menunggu kedatangan Nabi sampai langit disebelah
timur mulai menguning. Kerana waktu subuh hampir habis, Bilal kembali
kerumah Rasulullah SAW.
“Assalamu’alaika, ya Rasulullah…. para makmum sudah menunggu dan langit sudah pula menguning,” katanya.
Saat itu, Nabi agak sedar. Dengan tersendat-sendat beliau membalas
salam Bilal, lantas bersabda, “Ya Bilal, aku tahu fajar telah mulai
tiba. Beri tahu Abu Bakar supaya menjadi imam sembahyang Subuh. Aku
sedang sakit, tidak mampu bangun.”
Mendengar jawaban itu Bilal
menangis. Dengan langkah terburu-buru tetapi lunglai, ia bergegas
kembali ke masjid. Disampaikannya pesan rasulullah SAW kepada Abu Bakar.
Begitu melihat mihrab kosong, Abu Bakar menangis. Di mihrab itulah
Rasulullah SAW selalu memimpin sholat, mengumandangkan ayat-ayat
Al-Quran dengan suara yang nyaring dan fasih. Pribadinya agung, parasnya
berwibawa. Kini mihrab itu kosong. Abu Bakar menangis juga seluruh
sahabat, sehingga suasana subuh itu menjadi murung.
Sampai
siang, para sahabat berkumpul di masjid menanti berita dari kediaman
Rasulullah SAW. Ternyata, Rasululah SAW minta dipapah untuk menuju
masjid. Dengan langkah terseok-seok, Nabi keluar rumah dipapah kedua
sahabat itu.
Tiba di masjid, Nabi sembahyang sunnah dua rakaat
lalu menuju mimbar. Kakinya terasa berat ketika mendaki tangga. Tubuhnya
tampak lemah, tangannya bertelekan. Tak lama kemudian beliau
menyampaikan khutbah singkat, namun isinya meresap dan menggetarkan
hati. Para sahabat bercucuran air mata…..
“Wahai kaum muslimin,
kita hidup di bawah kekuasaan Allah dan kasih sayang-Nya. Maka
bertaqwalah kepada-Nya dan taatilah perintah-perintah-Nya”. Dalam
riwayat lain, Rasulullah SAW berwasiat, “Wahai segenap umat manusia, api
neraka sudah dinyalakan, fitnah-fitnah telah datang seperti datangnya
malam yang gelap. Demi Allah, kamu tidak akan berpegang kepadaku dengan
suatu apa pun. Sesungguhnya aku tidak pernah menghalalkan sesuatu
melainkan apa yang dihalalkan oleh Al-Qur?an, dan tidak pula
mengharamkan sesuatu melainkan apa yang diharamkan oleh Al-Quran”.
Abu Bakar tersedu sedan sementara Umar bin Khattab menahan napas dan
tangis hingga dadanya naik turun. Sedangkan Utsman bin Affan menghela
napas panjang, dan Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala dalam-dalam.
Dalam hati semua sahabat berkata, “Rasulullah akan meninggalkan kita.”
Lelaki agung itu hampir selesai menunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu
semakin nyata, sehingga dengan tangkas Ali dan Fadhal segera tampil
membantu Rasulullah turun dari mimbar. Sangat pelan kerana lemah.
Segera setelah itu beliau dipapah untuk kembali pulang ke rumah
kediaman. Sejak itu beliau tidak mampu lagi bangkit dari tempat tidur.
Keadaan beliau semakin gawat, sampai-sampai kain pengikat beliau pun
terasa panas. Panas yang sangat tinggi menyebabkan beliau sering tak
sedarkan diri.
Melihat keadaan ayahandanya, Sayyidah Fatimah RA
terus menangis, “Ya Allah, alangkah berat penderitaan ayahku. Alangkah
beratnya, ya Allah….”
Mendengar tangis putri kesayangannya itu,
Rasulullah SAW sempat bersabda, “Bersabarlah anakku sayang. Tidak ada
lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini…” Nabi SAW berusaha menghibur
putrinya agar tidak bersedih hati. Namun sabda Beliau itu juga merupakan
pertanda bahwa tinggal pada hari itu beliau merasakan penderitaan. Dan
setelah itu, meninggalkan keluarga dan segenap kaum muslimin.
Tepat pada waktu dhuha, datanglah Malaikat Izrail yang diutus oleh Allah
Ta?ala untuk menjemput Rasul SAW. Perintah Allah Ta?ala kepada Izrail,
“Masuklah kalau diizinkan olehnya. Kalau tidak, kembalilah engkau
kemari. Berangkatlah dan muncullah di hadapannya dalam wujud seorang
lelaki yang sopan dan rapi. “Maka muncullah Malaikat Izrail sebagai
seorang lelaki berpakaian putih-putih dengan aroma yang harum mewangi.
“Assalamualaikum, wahai penghuni rumah kenabian….”
“Wa’alaikumussalam. Maaf Rasulullah sedang payah. Datanglah lain kali,” jawab Sayyidah Fatimah RA.
“Assalamu?alaika, ya Rasulullah. Salam sejahtera untukmu selamanya. Bolehkah saya masuk?” ujar Izrail lagi.
Mendengar salam khusus itu, Nabi membuka mata beliau lalu bertanya
kepada Fatimah, “Anakku, ada tamu ya? Siapa yang berada di pintu, hai
Fatimah?”
“Seorang laki-laki yang bersih sopan, rapi, dan
wangi. Ia memanggil-manggil ayah dan minta izin untuk masuk. Saya
bilang, Ayah sedang payah. Saya minta dia dia untuk kembali lain kali.”
Tiba-tiba Nabi SAW memandangi putri tercintanya itu dengan tatapan yang menembus jauh, dengan cahaya pekat yang mengabut.
Sayyidah Fatimah RA menggigil kerana hatinya tergetar
“Izinkan tamu itu masuk, Fatimah. Tahukah engkau siapa dia, anakku?” sabda Rasulullah SAW.
“Tidak”
“Dialah penjemput kenikmatan, pemutus nahsu syahwat, dan pemisah pertemuan. Dia adalah malakul maut.”
Sayyidah Fatimah RA terkejut, “Ayahanda, jadi mulai hari ini aku tidak
akan lagi mendengar suaramu dan memandangi wajah jernihmu?” Sayyidah
Fatimah menangis.
Jangan bersedih dan menangis, jantung hatiku.
Engkau adalah keluargaku yang mula-mula akan bersamaku di hari kiamat,”
sabda Rasul SAW
Mendengar itu, barulah Sayyidah Fatimah RA lega.
“Engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?” Tanya Nabi.
“Aku datang untuk berziarah, juga menjemput Tuan jika Tuan mengizinkan. Tetapi kalau tidak aku akan kembali.”
“Engkau datang sendirian? Dimana engkau tinggalkan Jibril?” Tanya Nabi sambil tersenyum.
“Aku tinggalkan dia di langit kedua bersama para malaikat lainnya.”
“Panggil dia kemari.”
Jibril tergagap. Maka Malaikat JIbril pun turun ke bumi, menuju rumah
kediaman Rasul, lalu duduk disebelah kepala Rasulullah SAW.
Beberapa saat Nabi memandangi Jibril, lalu dengan sayu beliau bersabda,
“Jibril, mengapa berlambat-lambat? Tidakkah engkau tahu saat yang
dijanjikan itu hampir tiba?”
“Beri tahu aku bagaimana hakku di hadapan Allah nanti.” sabda Nabi lagi.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat berbaris
berlapis-lapis menunggu kehadiran ruh Tuan, seluruh gerbang syurga
terbuka sebagai persemayaman Tuan.”
Namun wajah Nabi tetap
suram dan gelisah. Lalu sabdanya lagi, “Jibril, bukan berita itu yang
kuinginkan. Beritahu aku, bagaimana umatku besok di hari kiamat.”
Maka dengan tenang Jibril menjawab, “Ya Rasulullah, Allah Ta?ala
berfirman, „Aku haramkan syurga dimasuki oleh para nabi sampai engkau,
Muhammad, masuk terlebih dahulu. Dan aku haramkan umat para nabi masuk
ke dalamnya sampai umatmu, Muhammad, masuk terlebih dahulu?.”
Mendengar jawaban itu, barulah wajah Nabi berseri-seri. “Alhamdulillah.
Kalau begitu hatiku tenang, wahai Jibril.” Beliau merasa tenteram,
kerana kaum muslimin mendapat hak dan tempat istimewa di hadapan Allah
SWT. Bibir beliau yang sudah memucat itu menyunggingkan senyum. Senyum
istimewa itu juga beliau tujukan kepada Malaikat Izrail ketika beliau
mempersilakan sang Pencabut Nyawa itu melaksanakan tugasnya.
Pada waktu yang bersamaan suasana gundah gulana menggantung berat di
ruangan sempit itu. Angin kota Madinah yang meniupkan hawa dingin tapi
kering tambah dalam menusuk tulang. Sejengkal demi sejengkal matahari
pun semakin meninggi ketika Malaikat Izrail berancang-ancang untuk
mencabut nyawa Rasulullah SAW.
Penderitaan Nabi SAW semakin
menghebat ketika nyawa beliau, yang dicabut oleh Izrail dengan sangat
pelan dan lembut, sampai di pusat. Dahi dan sekujur wajah beliau
bersimbah peluh. Urat-urat di wajah beliau menegang dari detik ke detik.
Sambil menggigit bibir, Nabi SAW berpaling ke arah malaikat Jibril.
Mata Rasulullah SAW pun basah, cahayanya pun semakin meredup. “Ya
Jibril, betapa sakitnya! Oh, alangkah dahsyatnya derita sakaratul maut
ini.”
Sayyidah Fatimah RA memejamkan mata, sementara Ali bin
Abi Thalib, yang berada disamping Rasulullah SAW, menundukkan kepala,
sedangkan Malaikat Jibril memalingkan muka. “Ya Jibril, mengapa engkau
berpaling? Apakah engkau benci melihat wajahku?” tanya Rasul SAW. “Sama
sekali tidak, ya Rasulullah. Siapakah yang tega menyaksikan Kekasih
Allah dalam kedaaan seperti ini? Siapakah yang sampai hati melihat Tuan
kesakitan?” jawab Jibril tersekat-sekat.
Rasa sakit itu kian
memuncak. Sekujur tubuh Nabi menggigil. Wajah beliau semakin memucat,
urat-uratnya menegang. Dalam keadaan sakit tak tertahankan itu beliau
berdoa, “Ya Allah, alangkah sakitnya! Ya Allah, timpakanlah sakitnya
maut ini hanya kepadaku, jangan kepada umatku.”
Mendengar sabda
Rasul itu, Jibril tersentak. Betapa agung peribadi Rasulullah SAW.
Dalam detik-detik paling gawat dan menyiksa, bukan kepentingan sendiri
yang dimohonkan, melainkan kepentingan umatnya. Andai beliau mohon agar
rasa sakit itu dicabut, pasti Allah SWT mengabulkannya. Namun beliau
lebih memilih sebagai tumbal agar derita itu tidak menimpa umatnya.
Ketika Jibril menyedari keadaan di sekelilingnya, Izrail sudah dengan
sangat santun menarik nyawa Nabi SAW sampai di dada. Maka napas beliau
pun mulai menyesak. Rasa sakit semakin menghebat. Ketika itulah, lelaki
agung itu menengok ke arah sahabat-sahabatnya, lalu bersabda dengan
suara lirih dan pandangan sayu, “Ushikum bishsembahyangi wa ma malakat
aimanakum (Aku wasiatkan kepada kamu untuk mendirikan sholat, dan aku
wasiatkan kepada kamu orang-orang yang menjadi tanggungan kamu).”
Sejenak kemudian, keadaan Rasulullah SAW bertambah kritis. Para sahabat
saling berpelukan lantaran tak kuat menahan pilu. Dan ketika itulah
tubuh Nabi SAW mulai dingin. Hampir seluruh bagian tubuh beliau tidak
bergerak-gerak lagi. Mata beliau pun berkaca-kaca dan menatap lurus ke
langit-langit hanya sedikit terbuka.
Menjelang akhir hayat
beliau, Ali bin Abi Thalib melihat Nabi SAW dua kali menggerak-gerakkan
bibir beliau yang sudah membiru. Maka Ali pun cepat-cepat mendekatkan
telinganya ke bibir Nabi. Ia mendengar Nabi SAW memanggil-manggil,
“Ummati, ummati…. (Umatku, umatku…).” Dengan memanggil-manggil umatnya
inilah, Rasul Akhir Zaman itu wafat di pangkuan isteri tercinta,
Sayyidah Aisyah RA, pada hari Isnin, 12 Rabi’ul Awwal 11 Hijrah,
bertepatan dengan tarikh 3 Juni 632 Masehi, dalam usia 63 tahun.
Maka meledaklah tangis para sahabat. Sang kekasih Allah telah wafat,
membawa cinta yang agung, cinta kepada umat, hingga akhir hayat. Bahkan
dibawanya sampai Padang Mahsyar. Ketika nyawa sudah sampai tenggorokan.
Pemimpin Besar dan Pencipta Peradaban itu bukan mengkhawatirkan
keluarganya, melainkan memprihatinkan umatnya. “Ummati, ummati….”
Sesaat sebelum wafat, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari,
Rasulullah SAW masih sempat berwasiat dan menghibur umatnya. Beliau
bersabda, “Wahai umatku, kamu akan melihat hari yang tidak kamu sukai,
iaitu perpecahan dan fitnah dari berbagai musibah yang akan datang. Akan
tetapi hendaklah kamu bersabar sampai berjumpa denganku di Telaga Haudh
kelak…”
Sementara itu, dari sumber kitab Shahih Bukhari
diriwayatkan, pada Isnin subuh itu Nabi SAW merasa keadaannya mulai
membaik. Maka ketika mendengar adzan, beliau memutuskan untuk pergi ke
masjid sekalipun keadaannya masih lemah. Ketika beliau masuk masjid,
sembahyang sudah dimulai. Para sahabat pun menjerit, mengucapkan,
“Subhanallah, subhanallah”, pertanda gembira dan bersyukur menyaksikan
keadaan kesehatan junjungan mereka yang mulai membaik.
Begitu
melihat Nabi datang, para sahabat hampir membatalkan sembahyang. Namun,
beliau memberi isyarat agar mereka meneruskannya.
Sejenak
beliau berdiri menatap mereka dengan bahagia. Wajahnya berseri-seri
menyaksikan ketaatan umatnya. Sampai-sampai Annas bin Malik berkata,
“Belum pernah aku melihat pandangan yang lebih menakjubkan dari wajah
Nabi SAW (ketika itu).” Kemudian beliau tersenyum. Abu Bakar
Ash-Shiddiq, yang menjadi imam sembahyang, menyedari apa yang terjadi di
belakangnya. Yakni, pasti Rasulullah SAW ada di masjid. Maka tanpa
menoleh, ia pun mundur. Tetapi, Nabi segera memegang pundaknya dan
mendorongnya maju agar terus sebagai imam, sementara Nabi SAW sembahyang
di sebelah kanan Abu Bakar dalam kedudukan duduk.
Selesai
sembahyang, Nabi kembali ke rumah Sayyidah Aisyah RA dipapah oleh Fadlal
dan Tsawban, sementara Ali dan Abbas mengikuti dari belakang. Sampai di
rumah, Nabi SAW kembali ke tempat tidur, berbaring di pangkuan isteri
tercintanya itu. Dan ternyata, sembahyang subuh tadi adalah yang
terakhir kali Nabi SAW sembahyang berjamaah dengan para sahabatnya.
Ketika itulah segenap kekuatan Nabi SAW melemah.
Saat
Abdurrahman bin Abu Bakar masuk ke dalam kamar sambil membawa siwak
(sikat gigi dari kayu arak), Sayyidah Aisyah RA melihat Nabi SAW
sepertinya menginginkannya. Maka ia pun meminta siwak itu,
membersihkannya, lalu memberikannya kepada ayahanda tercinta. Lalu
beliau pun membersihkan gigi dengan cekatan, sekalipun keadaannya cukup
lemah. Tidak lama kemudian kesedaran Rasulullah SAW hilang. Sayyidah
Aisyah RA mengira beliau tengah menghadapi sakaratul maut. Tapi, sekitar
satu jam kemudian, beliau membuka mata. Sayyidah Aisyah RA teringat
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun yang dicabut
nyawanya sebelum ia ditunjukkan tempatnya di syurga.” Sayyidah Aisyah
RA pun faham, inilah saat sakaratul maut itu.
Sejenak kemudian,
Nabi SAW bersabda dengan suara bergumam, “Dan barang siapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, iaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan
orang-orang shalih. Mereka itulah sahabat yang paling baik.” – Surah
An-Nisaa (4): 69. Setelah itu, beliau kembali bergumam, “Ya Allah, aku
memilih bersama Yang Maha mulia.”
Setelah itu, kepala Nabi SAW
beransur-ansur terasa bertambah berat di pangkuan Sayyidah Aisyah RA,
sehingga para isteri yang lain menangis. Sayyidah Aisyah RA lalu
membaringkan kepala beliau di bantal, kemudian menangis bersama isteri
Nabi SAW yang lain.
Dalam Sahih Bukhari dikisahkan, begitu
mendengar Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar As-Siddiq berlari menuju rumah
kediaman Sayyidah Aisyah RA. Namun jasad Nabi SAW telah membujur kaku.
Ketika menyingkap kain yang menutup tubuh Nabi SAW, ia menangis sambil
memeluk wajah Sang Rasul. Saat memandikan jenazah Rasulullah, Ali bin
Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, ketika hidup, Tuan semerbak
mewangi. Ketika wafat pun, tubuh Tuan tetap wangi.”
Ya… Rasulullah SAW, dan syariatnya, tetap akan selalu semerbak mewangi sampai hari kiamat.
No comments:
Post a Comment