Apa
bedanya aku dengan wanita biasa?? Hampir tak ada bedanya selain
kerudungku yang sedikit lebih besar dari teman-teman sekelasku, juga
gamis atau baju panjang terusan yang biasa ku kenakan di antara jejeran
mahasiswi kampus. Aku juga terjun sebagai aktifis dakwah kampus, sedikit
menarik karna ternyata hafalan qur’anku cukup bagus, meski tidak ku
aplikasikan secara menyeluruh dalam kehidupanku, tapi al qur’an adalah
bacaan favoritku. Rupanya, banyak juga buku yang ku koleksi dan ku baca,
sebagian besar akhwat sampai sering bertanya, “apa buku itu habis anti
baca semua?” dengan senyum tersungging aku menganggukkan kepala. Memang
aku bisa membeli buku, menghafal isinya, dan berbicara dengan penuh
teori masuk akal, atau penjabaran spesifik tentang apa yang ku dapat
dari buku itu, tapi aku lupa bahwa amalan itu penting, jauh lebih
penting daripada sekedar teori. Sepertinnya aku memang cukup pandai
dalam ber-teori, asumsi maupun berspekulasi, tapi kelabakan dalam
pengamalannya. Aku punya cita-cita sederhana yang begitu tulus, aku
ingin di terima di mana saja aku berpijak, aku tidak ingin merusak
suasana yang ada, seperti ulat yang memakan daun yang di pijakinya. Aku
ingin hidupku lurus-lurus saja, di penuhi orang-orang yang menyukaiku,
dan aku merasa tenang di antara mereka. Itu sebabnya aku tidak begitu
menjaga pandangan ketika berbicara dengan lawan jenis. Aku membaur di
antara mereka tapi tidak tersentuh, semua pria yang mengenalku, bahkan
pria paling bodoh sekalipun dalam mengenal agamanya, tau bahwa aku tidak
suka di sentuh, dan mereka menghargai itu. Aku tidak pacaran, meski
banyak pria mengungkapkan rasa cintanya kepadaku, tapi aku tidak pernah
berniat sekalipun, bahkan sedetikpun berfikir untuk bercinta dengan
salah satu di antara mereka, para pria yang tidak menghargai cinta, pria
yang merendahkan wanita, yang seenaknya saja hendak menumpahkan nafsu
birahinya pada setiap wanita yang mengundang hasratnya, pria yang tidak
menjaga kemaluannya, aku tidak mau, sama sekali tidak bernafsu dengan
pria macam itu, setampan apa pun rupanya. Itu sebabnya aku heran jika
melihat ada akhwat yang terjatuh dan kemudian pacaran dengan pria
sejenis itu. Hufft.. Selama ini, aku fikir itu cara paling efektif,
menjadi akhwat yang dapat di terima di lingkungannya, bagus bukan? Tapi
aku lupa, dan aku lalai, bahwa ketika aku tidak menjaga pandangan,
mereka bebas menatap wajahku, ketika aku bersikap hangat, ramah tamah
kepada mereka, mungkin saja dalam fikiran mereka aku cukup menarik,
sehingga muncul angan kotor dalam diri mereka tentang aku. Seharusnya
hal seperti itu ku pertimbangkan sejak awal dalam etika bergaul..
Selalu
mencari pembenaran, bukannya kebenaran, itulah aku, lebih suka
memperturutkan hati dan perasaan di banding pengetahuan yang sudah ku
miliki. Jika aku menyukai sesuatu, maka aku akan jadikan itu sebagai
bagian hidupku, jika orang lain menganggapnya kurang baik, maka aku tak
akan perduli, nasihat orang itu akan ku abaikan, prinsipku; selamanya
aku akan jadi diriku sendiri, jika kau tak suka padaku, maka itu
masalahmu, berhentilah memandang seseorang dari sudut kacamatamu. Aku
memang sedikit menyebalkan, bahkan perkataan murobbiku sendiri
seringkali ku abaikan, tapi tak pernah langsung di hadapannya tentu
saja, jika dia memberi nasehat, aku lebih suka manggut-manggut sembari
berkata, “iya mba, iya mba..” tapi kemudian aku tersenyum dan sudah lupa
apa yang barusan ia ucapkan.
Jatuh
hati dengan ikhwan ‘tetangga’, hmm.. itu juga salah satu episode yang
sepertinya harus ada dalam cerita kehidupanku, beberapa waktu yang lalu
hampir saja aku menikah dengan seorang ikhwan salafy, jika saja Allah
tidak menyelamatkanku dengan wejangan murobbi. Allah juga menunjukkan
betapa menyebalkannya sifat si ikhwan yang mengaku-ngaku paling salafuhs
salih itu, yang dengan mudahnya mem-bid’ahkan para pelaku pembaca surah
yasin di masjid, padahal dia sendiri belum tentu hafal surah yasin, dan
satu lagi, se-enak dengkulnya mengatakan Amrozi cs khawarij.. hmm,
padahal menurutku, apa yang asy syahid Amrozi cs (insyaAllah) perbuat,
hanyalah ihwal ijtihad di kalangan mujahid jihad, wajar saja jika
berbeda-beda dalam amaliyah, tapi tidak perlu di per-salahkan bukan? toh
perbedaan itu akan tetap ada sampai kapan pun, sampai Allah memberikan
ketetapan-Nya. Jika mengingat runtutan kejadian yang cukup menarik dalam
hidupku, kadang hati kecilku bertanya; “kenapa tindakan dan keputusan
yang ku ambil seringkali bertentangan dengan ilmu yang ku punya??” dan
aku pun terdiam, aku tak punya jawaban yang lebih baik selain bahwa
sebenarnya itu semua adalah perturutan dari egoku semata. Selama ini aku
fikir, aku tak akan pernah bisa membenci suatu perbuatan tanpa membenci
pelakunya, bohong rasanya jika aku berkata bahwa aku benci perbuatan
kaum Yahudi Israel tanpa membenci orang-orang Yahudi itu sendiri. Tapi
rupanya, bertahun-tahun lamanya aku lakukan hal itu pada seseorang,
yakni diriku sendiri. Aku benci apa yang aku lakukan, tapi sekalipun tak
pernah ku kutuk diriku sendiri, apa lagi menghukumnya. Aku tau, kalau
sedang bicara aku terlalu blak-blakan, sehingga terkesan lupa untuk
menjaga hati dan perasaan orang lain. Padahal itu perlu aku lakukan,
jika ingin hubungan baik tetap terjalin dengan orang lain, karna jelas
aku tidak hidup sendiri di dunia ini, selalu dan pasti akan terus
berhubungan dengan orang lain..
***
Ini bagian terindah dalam hidupku, aku sedang jatuh cinta pada seorang pria terbaik yang ku kenal di tahun 2009 ini,
mungkin agak berlebihan, tapi ini sungguh-sungguh. Aku mengenalnya
ketika pertama kali memasuki bangku kuliah, tidak di pungkiri, aku jatuh
hati padanya pada pandangan pertama. Aku rasa setiap akhwat yang
mengenalnya akan bersimpatik pada sosok sederhana seperti dia, celananya
cingkrang, dia berjanggut tipis dengan wajah bersih, jidatnya hitam
tanda bahwa dia sering bersujud.
Tentunya
Allah punya rencana ketika ternyata Dia memperkenalkan kami. Di suatu
pagi yang cerah, ketika aku sedang duduk di meja ruang kerjaku, manager
divisiku menegurku, yah.. aku memang pekerja keras, selain kuliah aku
juga sudah bekerja, aku suka dengan kesibukan dan penghasilan yang bisa
ku pergunakan untuk keperluan hidupku sendiri, sehingga tidak perlu
membuat jidat kedua orang tuaku berkerut lantaran memikirkan keperluan
hidupku.
“Maryam
kenal dengan Aminudin?” tanya managerku pada pagi itu. Sepasang alisku
terangkat. “enggak mas,” sahutku seadanya.masa sih? Dia kenal Maryam
lho,” sahutnya. oh ya? Kenal saya? Emang ciri-cirinya gimana? Trus dia
ada bilang apa?” tanyaku agak penasaran, aku berfikir keras, mencoba
mengingat-ingat siapa itu Aminudin. “kakak tingkat Maryam di kampus, dia
karkun juga, orangnya cakep, agak kurus dan tingginya mungkin sama
dengan saya, waktu itu kita ngobrol di markas, saya jadi tahu bahwa
ternyata dia satu kampus dengan Maryam, nah waktu saya tanya apa kenal
Maryam dan nyebutin ciri-ciri Maryam, ternyata dia tahu, dan bilang
kalau dia kenal Maryam, gitu..” hah? Kak Aminudin ya maksudnya??”
tanyaku tak percaya, masa sih kak Amin juga kenal sama aku? Kenal dari
mana? Walau aku tahu sedikit tentang dia, tapi kami nggak pernah
berkenalan secara langsung, jadi bagaimana dia bisa tahu namaku? Batinku
tak habis fikir, saat itu juga aku merasa darahku bergejolak. “iya,
Aminudin.. dari tadi kan yang saya bilang emang Aminudin..” managerku
tersenyum menatapku, lalu melanjutkan pekerjaannya.
Sepulang
kerja aku lanjut kuliah, agak sedikit capek memang, tapi demi harapan
memperoleh kehidupan yang lebih baik, dan strata sosial yang meningkat
di tengah masyarakat, aku harus berusaha menikmati aktifitasku ini.
Meski tidak mudah membagi diri dan waktu sebagai karyawan, mahasiswi,
seorang anak di tengah-tengah keluarga, dan pengemban dakwah nubuwah,
tapi inilah kesempatan yang sudah Allah berikan untuk menjadi lebih kuat
dan dewasa, jika aku tidak memanfaatkan ini dengan baik, maka aku
adalah orang ter-kufur seantero jagat raya
Aku
berjalan menyusuri koridor kampus, tanpa sengaja tatapanku tertubruk
pada kakak tingkatku yang cukup ku kenal, namanya Nasrul, tiba-tiba saja
aku terfikir untuk bertanya tentang Aminudin padanya. Sesampainya di
rumah, aku mengirim pesan pada Nasrul melalui pesan singkat di
handphone, atau sms.
“Asalam.
Kak nasrul, mau nanya nih, kak Amin itu Jamaah Tabligh ya? Sejak
kapan?” sms terkirim. Aku merebahkan tubuh di atas kasur. Kalau di
fikir-fikir, isi sms ini aneh ya? Masa’ mau nanya dia kenal aku darimana
saja sampai harus menanyakan masalah pergerakan sih? Hufftt..
handphoneku bergetar, balasan sms dari Nasrul. “wa’alaykumsalam. Kurang
tau ukh, coba tanya langsung sama Amin nya..” aku menghembuskan nafas
kuat-kuat.
“oh
gitu, afwan deh, cuma heran aja, dia bilang sama bos kantor ana kalo dia
kenal sama ana, padahal ana gak ngerasa pernah kenalan sama dia, dan
ternyata dia emang satu jamaah sama bos ana..”
***
“afwan
ukh, ada nanyain ana sama akh Nasrul ya? Iya, ana emang karkun kayak
mas Yusuf, bos anti, kebetulan ana emang tau aja anti yang mana, makanya
kemaren waktu mas Yusuf nanya kenal sama anti atau gak, ana bilangnya
kenal, walau sebenarnya kita gak kenal secara langsung, dan bahkan
mungkin anti gak tau siapa ana, afwan juga udah lancang minta nomer hp
anti sama akh nasrul.. -Aminudin-”
Aku
bangkit dari kasur seraya mengucek-ucek mata, aku dapat sms dari Amin!
rasanya bahagia sekali! Kebahagiaan yang sukar di jelaskan dengan
kata-kata. Itulah awal perkenalan kami. Suatu hari, dia meminjamkan aku
sebuah buku, judulnya Quo Vadis Salafy, aku menemuinya di halaman parkir
kampus untuk mengambil buku itu, dan itulah pertama kalinya aku melihat
dia dengan jarak yang cukup dekat. Walau sudah berusaha menundukkan
pandangan, tapi tetap saja hatiku berdesir tak karuan.
Makin
hari, hubungan kami makin dekat, dia benar-benar memposisikan diri
sebagai saudara yang baik. Karna kebetulan dia cukup cerdas, seringkali
dia membantu mengerjakan tugas-tugas kuliah yang cukup sulit dan kurang
ku mengerti. Dia juga mengajariku mata kuliah yang tidak ku mengerti
itu, kami belajar bersama di mushola, dengan di batasi kain hijab dan
dengan di dampingi orang ketiga tentunya.
Benih-benih
cinta pun tumbuh bersemi, perlahan tapi pasti, makin subur dan terus
berkembang. Antara cinta dan nafsu, keduanya berjalan beriringan
menggetarkan sendi-sendi tubuh. Ketika gejolak rasa sudah tak mampu di
bendung, saat bisikan syahwat makin menderu kencang, manakala iman mulai
meluntur dan syetan terus merayu, terungkaplah bisikan cinta dari bibir
kami, mulailah kata-kata ‘aku mencintaimu karna Allah’ makin sering
kami umbar sebagai bentuk keseriusan kami.
Dia
ingin menikahiku, dan tentu saja, aku juga ngin sekali menikah
dengannya. Adakah manusia di bumi ini yang tak ingin bersatu dengan
orang yang di kasihinya? Aku mulai mengkomunikasikan hal ini dengan
murobbi, kata murobbiku; “di ajak ngaji sama ustadz kita aja dulu,
Maryam sudah paham tentang dien, aqidah, juga wala wal baro’ kan?” aku
melengos. Yah, aku paham tentang semua itu, bahkan sangat paham sekali.
Tapi cinta terlanjur membutakan mata hati. Aku bersikeras bahwa setelah
menikah nanti, Amin pasti mau di ajak mengikuti jalan kami, aku
mengeluarkan beribu alasan pada murobbiku untuk menutupi sebuah alasan
sebenarnya; yakni, bahwa Amin belum bisa menerima pola perjuangan kami,
itu sebabnya dia belum bisa mencoba mempelajari apa yang selama ini aku
pelajari, tapi dia janji setelah menikah nanti akan berusaha untuk
menerima pola perjuangan kami, tentunya dengan izin Allah. “tak ada yang
berbeda di antara kita, Allah dan rasul-Nya lah tujuan kita, ridho-Nya
bukan, yang kita cari? Tidak ada yang berbeda dalam hal ini antara ana
dan juga Maryam,” ucap Amin pada suatu hari. Pikiranku pun makin
berkecamuk tak menentu.
***
Malam
ini, air mataku jatuh berlinang. Sajadahku basah oleh air mata. Kedua
mataku sudah membengkak. Jika di tanya bagaimana hatiku, tentu
sangat-sangat sakit sekali. Tok.. tok.. tok.. pintu kamarku di ketuk
dari luar. Dengan sisa tenaga yang ada, aku mencoba menghapus air mata
yang seolah tak mau berhenti menetes.
“siapa?”
tanyaku dari dalam kamar. “ini ummi, nak.” suara ummiku terdengar dari
luar. “Hanif Abdullah dan keluarganya sudah menunggu di ruang tamu, ayo
cepat keluar,” sambung ummi lagi. “Maryam lagi nggak enak badan mi,
bilang aja lamarannya di terima, beres kan?“ sahutku. “iya, tapi kan
kamu belum liat orangnya, gimana sih?” “udahlah mi, nggak ada gunanya
juga Maryam ngeliat orangnya, mau dia buta kek, lumpuh, bisu, tuli,
kusta, udah nggak masalah, yang penting aqidahnya selamat kan? Bukannya
itu yang selalu ummi bilang?!” suaraku meninggi. Rasa sakit makin tak
terbendung. “astaghfirullah..” ummi mendesis, lalu perlahan ku dengar
langkah kakinya menjauh dari pintu kamarku. Aku menangis lagi.
***
“subhanallah,
nggak kerasa ya ukh, satu minggu lagi statusnya berubah..” ucap Laila
sembari tersenyum menatapku. Aku balas tersenyum, meski hambar.
“orangnya seperti apa? Ana dengar hitam manis ya?” tanyanya. Aku
menggeleng. “nggak tau tuh, ketemu aja nggak pernah, jangankan ketemu,
fotonya aja sampai detik ini nggak pernah ana liat, ana taro aja di laci
kamar ummi.” sahutku garing. “hah? Masa sih? Jadi anti main terima
aja?” tanya Laila tak percaya. Aku mengangguk. “yang penting aqidahnya
selamat kan? Yah, mau item manis kek, atau item pahit kayak Bilal juga
nggak ngefek,” sahutku ketus. “eh, jangan salah.. ahlaknya juga seperti
Bilal lho, sebelas dua belas lah,” ku dengar ummi menyahut dari arah
dapur. Laila terkekeh mendengarnya. “subhanallah, dapat yang seperti
Bilal sahabat rasul.. aamiin, itu yang namanya barakah ukh..” Laila
memelukku. “udah ah,” aku melepaskan pelukan Laila. “ana mau jalan-jalan
bentar, mau ikut ukh?” aku mengalihkan pembicaraan. Jengah rasanya
mendengar nama Hanif Abdullah terus di perbincangkan oleh orang-orang di
sekitarku. “mau jalan-jalan kemana? Ntar lecet lho, seminggu lagi kan
mau nikah ukh,” sahut Laila. “yah, kemana aja lah, ikut nggak?” tawarku
lagi. “nggak deh, ana di sini aja bantuin ummi, kan lagi sibuk-sibuknya
nyiapin buat walimatul ursy anti, jemputin ukhti Hening aja, jadi anti
nggak keluar sendirian, ya ukh?” pinta Laila lagi. “liat ntar deh, ya
udah, assalamu’alaykum..” aku beranjak menuju dapur, ummi terlihat sibuk
mengatur barang belanjaan di bantu beberapa anggota keluargaku yang
lain. “mi, Maryam keluar bentar ya? Bentar aja kok mi,” aku meminta
izin. “mau kemana?” tanya ummi. “mau beli es krim..” sahutku. “ya sudah,
tapi jangan lama-lama ya, dan ingat, hati-hati.” “oke ummi,
assalamu’alaykum!” aku berlari-lari kecil ke luar halaman. Ku pacu Honda
Varioku dengan kecepatan sedang. Minggu siang yang cukup cerah, aku
menghirup udaranya dengan perasaan senang, yah ini cukup menghibur,
setidaknya untuk menerima kenyataan bahwa seminggu lagi hidupku akan
berubah, aku akan menjadi istri dari seorang ikhwan yang tak ku kenal
sama sekali, aku hanya tau namanya Hanif Abdullah, dan aqidahnya
selamat, itu yang selalu orang tua dan murobbi tekankan padaku. “kamu
akan mencintainya setelah mengenal dia lebih jauh, dia soleh dan
berilmu, dia jauh lebih baik dari Aminudin, percayalah pada ummi,” kata
ummi pada suatu hari. Betulkah demikian? Adakah yang lebih baik dari kak
Amin? Batinku menangis. Tanpa sadar, sebuah mobil dengan kecepatan
penuh sudah nampak di hadapanku, sekuat tenaga aku mencoba menghindar,
namun terlambat, Honda Varioku menghantam bagian depan mobil itu, aku
terlempar, lalu semuanya gelap.
***
Aku
termangu di sudut kamar, dua bulan total aku habiskan waktu di kamar ini
untuk memulihkan keadaan. Tak ada lagi yang bisa ku perbuat. Kecelakaan
itu telah merenggut penglihatanku, benturannya membuat aku buta seumur
hidup. Satu persatu ikhwah berdatangan, menunjukkan simpatik yang
mendalam terhadapku. Aku hanya bisa menangis, meminta doa mereka agar
dapat kuat menghadapi cobaan ini. Sekarang, hidupku benar-benar
bergantung pada kedua orang tuaku, aku di papah, sangat menyedihkan.
“Maryam,
ada Abdullah di luar, mau ketemu.” ummi meremas pundakku. “untuk apa
mi? Pernikahannya di batalkan aja, Maryam ikhlas kok,” aku tersenyum. Ku
raba wajah ummiku, lalu ku elus pipinya. Terasa butiran bening mengalir
dari sudut matanya. Meski seumur hidup aku buta, aku tak boleh lupa
pada wajah ummi, sama sekali tak boleh. “ketemu sebentar ya sayang,”
pinta ummi. Aku tak mau mengecewakannya, ku anggukkan kepalaku. Ummi
membantuku berjalan ke ruang tamu, lalu kami duduk berseblahan di sofa
ruang tamu. “assalamu’alaykum ukhti Maryam, khaif hal?” suara berat
Abdullah terdengar. Untuk pertama kalinya aku mendengar suaranya.
“seperti yang antum lihat, hanya kasih Allah saja yang menjadikan hal
ini terasa sedikit lebih ringan.” aku tersenyum. “alhamdulillah.. sudah
makan? Ana bawa Dorayaki, asli dari jepang, mau coba?” tanyanya pelan.
“hah, dorayaki? Memangnya dorayaki beneran ada ya?” aku balik bertanya,
tak percaya. “wah, katro’ anti ni, ada tau.. penasaran sama rasanya
kan?” “iya, penasaran banget, ana kalo ngeliat doraemon makan kayaknya
enak banget, ana fikir itu cuma makanan boongan, ternyata bener-bener
ada ya, tapi ngomong-ngomong antum tau dari mana ana penasaran sama
Dorayaki?” “dari biodata ta’aruf, mungkin ana sudah hafal di luar kepala
tentang anti,” “oh gitu, eh mana Dorayakinya? sini kasihin ana,“ “itu,
di depan anti,” “eh, ngolok ya, ana buta tau,” “hehe.. ana baru kali ini
ketemu orang buta yang cantik,” “hoeekkks.. mau nggak ketemu orang buta
yang songong?” sahutku bercanda. Dia tertawa kecil. Ummi mengambil
Dorayakinya dan memberikan padaku. “wah, enak banget, Cheese spread-nya
kerasa banget..”
***
“Maryam,
ini bunga dari Abdullah,” ibu menyodorkan seikat bunga, dari wanginya
aku tau itu mawar. “makasih mi,” aku menghirup wanginya dan merasakan
ketenangan. “Abdullah tetap ingin menikah denganmu,” jelas ummi. Aku
menggeleng. “nggak mi, Maryam nggak bisa nikah dengan siapapun dalam
kondisi seperti ini,” “tapi sampai kapan nak? Abdullah itu tulus
mencintaimu..” “ummi, ngertiin Maryam ya? Kalau Allah berkehendak, suatu
hari nanti Maryam bisa ngeliat, mungkin saat itulah Maryam akan
menikah, tapi nggak dengan kondisi seperti ini..”
“Maryam,
kita dapatkan pendonor mata untukmu nak!” ummi memelukku erat. “ummi
serius?! Allahu akbar!” aku bersujud, air mataku meleleh saking
bahagianya. Operasi berjalan lancar, aku sudah tak sabar lagi ingin
melihat dunia, ketika perban mataku di buka, satu persatu kudapati wajah
yang sudah tak asing lagi dihadapanku. Ada ummi, abah, Laila, dan
banyak akhwat lainnya. Mereka semua memelukku bergantian seraya
bertasbih memuja Allah. Aku pun tak henti-hentinya menangis dan mengucap
syukur kepada Rabb yang begitu baiknya. “mi, Maryam bersedia menikah
dengan Abdullah, sekarang Maryam sudah bisa melihat,” “alhamdulillah,”
ummi memelukku erat.
Untuk
kedua kalinya keluargaku kembali menyiapkan walimatul ursy, kali ini
aku begitu bahagia. Aku sudah tak sabar ingin bersanding dengan
Abdullah. Aku menatap wajahku di cermin, cantik sekali. Balutan busana
muslimah modern yang tetap syar’i, di tambah riasan salon ternama di
kotaku, makin mempercantik diri ini. Dari balik kamar aku menyimak ijab
qabul dengan kusyuk. Setelah Abdullah resmi menjadi suamiku, aku
beranjak keluar kamar di dampingi Laila. Itulah pertama kalinya aku
melihat Abdullah yang kini resmi menjadi suamiku…
Para
tamu masih terus berdatangan, tapi aku sudah tak berminat lagi untuk
duduk di pelaminan, aku memilih menyembunyikan wajahku dibalik bantal.
“Maryam, ayo keluar, para undangan mencarimu nak..” ummi menarik
bantalku. Tampak wajahku yang berlinang air mata. “pantas saja dia mau
menikah denganku, kenapa ummi nggak pernah bilang kalau dia juga buta?!”
aku terisak. “Maryam.. maafkan ummi nak, ketika pertama kali dia
melamarmu, apa kamu lupa dengan ucapanmu? Kamu bilang kalau kamu nggak
perduli apa suamimu nantinya buta, tuli, bisu, atau bahkan kusta
sekalipun, kamu akan tetap menerimanya kan? Bagimu yang terpenting
aqidahnya selamat bukan?” “itu bukan bagi Maryam, itu bagi ummi!” aku
terus menangis tak henti-hentinya..
“sayang,
ayo masuk, kita shalat sunnah berjamaah dulu..” Abdullah menghampiriku,
ia meraba-raba pinggiran kursi panjang yang ku duduki, lalu ikut duduk
di sebelahku. Sekilas aku menatap kedua matanya, mengerikan sekali. “aku
capek.” sahutku ketus. “istighfar.. apakah kita lebih mulia dari para
ulama, yang sepanjang hidupnya menghabiskan waktu untuk beribadah,
memikirkan umat, dan menyebarkan ilmu, sehingga merasa berhak untuk
letih beribadah? Besok pagi, mungkin saja kita kembali pada Allah, atau
lima menit dari sekarang, maukah kita meninggal dalam keadaan kufur?”
“ya nggak mau lah,” sahutku lebih ketus. “ya udah, shalat dulu yuk,”
“iya iya!” aku beranjak meninggalkannya. “eh sayang, tungguin, papah
suamimu ini..” pintanya memelas. “ogah! Jalan sendiri!” teriakku sembari
mendahuluinya untuk berwudhu.
“lusa,
kita udah pindah ke rumah baru kita, rumah itu sudah mas persiapkan
jauh sebelum kita menikah. Rumahnya nggak begitu besar, tapi asri
sekali, di bagian belakang ada pendopo untuk murid-murid mas belajar
baca quran, ada mihrab yang nggak begitu besar, ada pohon mangganya,
sayang suka mangga kan? Ada kolam kecil, kita pelihara ikan koi di situ,
catnya warna pink, trus..” “stop! Siapa yang mau pindah dari sini?
Kalau mas mau pindah, tafadhol, aku tetep di sini sama abah, sama ummi!”
“astaghfirullah.. sayang, usaha mas ada di depan rumah itu, gimana mas
bisa kerja kalau kita tinggal di sini?” “kan aku udah bilang, tafadhol
mas, mau pindah atau nggak, itu urusan mas, aku tetap di sini,” “tapi
kan Maryam istri mas, bukannya harus ngikut suami tho? Masa pisah
rumah?” “sebenarnya aku lebih suka misah daripada tinggal serumah sama
mas!” aku beranjak hendak meninggalkan Abdullah, tapi dia menahan
lenganku. “lepas!!!” jeritku histeris, aku tak sudi tanganku di sentuh
olehnya, makin hari aku makin jijik pada pria yang tak lain adalah
suamiku sendiri ini. “jika Maryam nggak mau memandang mas sebagai suami,
tolong, pandanglah Allah..” aku terdiam, tanpa sadar air mataku
menetes. Aku duduk kembali di sebelahnya. “pakai ilmunya sayang,
ingatlah pada sabda rasulullah, Apabila seorang istri sudah mengerjakan
shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan
taat kepada suaminya, maka akan dikatakan padanya: masuklah engkau ke
dalam jannah dari pintu mana yang engkau suka..” aku terisak. “mas nggak
ngajak untuk bermaksiat kan? Harusnya keinginan mas ini bisa Maryam
ikuti, bukannya ini sarana bagi seorang istri untuk masuk surga?” “oke,
kita akan pindah ke rumah itu, tapi demi Allah, berjanjilah untuk tidak
menyentuhku! Aku nggak sudi mas!” Abdullah tersenyum. “memangnya boleh,
menggunakan nama Allah untuk bersumpah agar tidak mengerjakan suatu
perbuatan baik? Sayang ini kenapa sih, bicaranya seperti orang yang
hilang ingatan, bukannya sudah tau hukumnya ya?” “udah deh, mas nikah
aja lagi, aku ridho kok,” sahutku mengalihkan pembicaraan. Dia terkekeh.
“kalau bercanda jangan berlebihan ya sayang,” dia mengelus kepalaku
yang tertutup kerudung. Lalu berdiri seraya meraba-raba lantai dengan
tongkatnya. “mas kemasin barang-barang kita dulu ya,” sahutnya seraya
berjalan masuk ke arah kamar. Air mataku menetes, sungguh Abdullah
lembut sekali, dia pria yang sangat baik, tapi aku tidak bisa menerima
kekurangannya, karna dia buta ya Allah..
Hari
pertama kami menempati rumah baru ini. Sungguh suasananya nyaman
sekali, cat rumah yang berwarna pink lembut, makin menenangkan suasana
hatiku, Abdullah memilih warna kesuakaanku rupanya. Di halaman belakang
ada Pendopo yang di teduhi pohon mangga, gemericik air kolam, makin
membuatku kerasan berlama-lama di halaman ini. “sayang, mau mas ambilin
mangga nggak?” tiba-tiba Abdullah berdiri di sampingku, tentu saja di
temani tongkat ajaibnya, benar-benar merusak suasana, gerutuku. “kok mas
tau sih aku ada di sini? Bukannya mas nggak bisa liat ya?” tanyaku
heran. Dia tersenyum tipis. “apa susahnya menemukan bidadari di rumah
ini? Istri mas itu wangi.. sekali, bahkan kalaupun mas ada di planet
luar, mas tetep bisa mencium wanginya, dan alhamdulillah, cuma mas yang
bisa mencium wanginya, jadi walau nggak bisa melihat kecantikannya, tapi
dari wanginya saja bisa terdeteksi..” “hoeeekkksss.. mau muntah
dengarnya” sahutku cuek. “jangan gitu ah, nggak baik, nggak boleh kasar
ya?” “mas itu salah pilih pendamping hidup, kalau mau yang nggak kasar,
bukan aku orangnya,” “hah? Masa sih salah? Ini kan pilihannya Allah,
udah pasti pas lah.. sayang itu beruntung tau nggak, udah dapat mas, kan
Allah yang milihin..” “diaaaaaaaammmmm!! eneg dengernya!!” ku dorong
wajahnya agar menjauh dari wajahku, lalu aku berjalan masuk ke dalam
rumah, sempat ku dengar celetukan suamiku, “subhanallah, jemari istriku
lembut sekali, Alhamdulillah..”
Malamnya,
usai shalat isya berjamaah, aku segera meninggalkan mihrab, tak ada
adegan cium tangan suami. Aku merasa itu tak perlu. Ku nyalakan tv dan
menontonnya. Walau siarannya sangat tak ku suka, tapi itu lebih
menghibur di banding berduaan dengan suamiku. Samar-samar kudengar
lantunan ayat suci al qur’an dari bibir suamiku, begitu merdu, air
mataku menetes. Ya Allah, kapan aku bisa ikhlas menerima ketetapanMu?
Aku terus menangis, tanpa sadar aku tertidur.
Samar-samar
ku dengar suara Abdullah. “sayang, makan dulu yuk?” aku mengucek
mataku, rupanya aku tertidur di sofa depan tv. Perutku keroncongan,
sejak tadi siang aku belum makan apa-apa. “aku nggak masak mas,”
sahutku. “iya, mas tau kok, pasti kecapekan karna kita baru pindah kan?
Gimana kalau kita jalan aja, nggak jauh dari sini ada jejeran warung,
lengkap lho, semua makanan kesukaan sayang ada di jual, mau mpek mpek,
bakso, sate, pecel, Fried Chicken, tinggal pilih aja, gimana?” aku
menatapnya. “apa? Jalan bareng mas? Ogah, aku malu di liatin orang,
punya suami buta” sahutku kasar. Sekilas aku lihat mimik wajah suamiku
berubah, ada guratan kesedihan di wajahnya, tapi berusaha di tutupinya.
“ya sudah, sayang mau makan apa? Biar mas yang ke depan beliin,”
sahutnya mengalah. “yee.. mas aja nggak bisa liat, gimana mau keluar
rumah? udah ah, aku aja yang beliin, mau makan apa?” “hush! Ini udah
malam, yang bener aja mau keluar jam segini? Sendiri lagi!” suara
suamiku meninggi. “biasa aja dong ngomongnya, nggak usah teriak gitu!”
aku balas teriak. Suamiku mengelus dadanya, “iya sayang, jangan keluar
malam-malam.. biar mas aja ya? Mas hafal kok jalanan di sini, mau makan
apa?” ia kembali melembutkan suaranya. “aku mau nasi padang,” “lho,
bukannya sayang nggak suka nasi padang?” “lagi pengen aja,” sahutku.
“maaf sayang, kalo nasi padang agak jauh, mas takut kenapa-kenapa nanti
kalau ninggalin sayang kelamaan di rumah, makan yang lain aja ya?” “ngaaakkkkk!! mau nasi padaaaaaang!!” teriakku lagi. “ya sudah, jangan
teriak-teriak gitu, ntar mas panggilin Iqbal, murid mas, dia kelas 3 SD,
temani sayang bentar di sini, mas pergi dulu, assalamu’alaykum” lalu ia
berbalik menuju pintu. Tak lama kemudian, murid ngaji suamiku yang
bernama Iqbal datang menemaniku. Anak ini lucu sekali, kelakar polosnya
membuat bibirku tersenyum. Tiba-tiba saja aku berfikir tentang anak, yah
rumah ini pasti akan lebih ramai jika ada seorang anak kecil. Tapi
bagaimana caranya? Aku begitu jijik membayangkan wajah suamiku.
Tetes
demi tetes air hujan terdengar dari arah luar, makin lama makin lebat
mengguyur bumi. “wah, hujan amah, kasian ustadz Abdul,” celetuk Iqbal.
“yah, makanannya basah dong..” bisikku pelan. “kok amah malah mikirin
makanan sih? Kan kasian ustadz Abdul kehujanan,” Iqbal menatapku heran,
aku diam saja. Tak lama kemudian pintu di ketuk dari luar,
“assalamu’alaykum!” ku dengar suara suamiku dari depan teras. “tolong
bukain pintunya ya Iqbal, amah ambil handuk dulu di belakang” Iqbal
mengangguk lalu beranjak menuju pintu. Ku lihat suamiku basah kuyup,
celana kainnya nampak kotor, seperti habis menyentuh lumpur. Mungkin
tadi dia terjatuh di jalan, fikirku. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam
kemejanya, “ini makanannya tolong kasih amah Maryam ya Bal, suruh
siapin untuk kita bertiga,” Iqbal lalu memberikannya kepadaku. Makanan
itu di bungkus mantel tipis ukuran kecil, aku membuka mantelnya, di
dalamnya masih ada plastik tebal, sekitar 3 lapis, baru kemudian nasi
padangnya terlihat. Hangat sekali, satu tetes air hujan pun tak berhasil
menyentuh kertas pembungkusnya, hampir saja aku meneteskan air mata
karna terharu.
Selesai
makan, Iqbal pamit pulang, rumahnya hanya bersebrangan dengan rumah
kami. Dia benar-benar anak yang manis, selesai makan dia membantuku
mencuci piring sebelum pulang. “sayang, kita kaji hadits sebentar yuk,
sebelum tidur,” ucap suamiku. “aku udah ngantuk,” tanpa banyak kata lagi
aku meninggalkan suamiku. Hujan kembali menetes setelah tadi sempat
berhenti, aku berbaring di atas tempat tidur kami yang hangat, meski
begitu, tubuhku masih saja kedinginan. Tak lama kemudian suamiku
menyusul masuk ke kamar, dia membaringkan tubuhnya di sebelahku,
melihatnya aku segera membelakanginya. Tanpa sengaja, lengannya
menyentuh lenganku, tentu saja sentuhan seperti itu, di malam yang
begitu dingin ini cukup menggetarkanku, gejolak syahwat sedikit bangkit.
Suamiku membalikkan tubuhnya dan memelukku dari belakang. “sayang..”
bisiknya di telingaku. Bulu kudukku menegang. Tanpa sadar aku meremas
jemarinya. Dia mulai menciumi pipiku, ketika wajah kami bertemu, aku
melihat matanya, seketika itu juga aku mendorongnya. “astaghfirullah..”
ucapnya lirih. “jangan sentuh aku!” bentakku. “afwan,” suamiku
meletakkan bantal dan gulingnya di lantai, dia tidur di bawah. “sayang,
di lemari ada selimut, tadi siang mas taruh di situ, di pake ya,” lalu
aku tak mendengar apa-apa lagi selain desah nafasnya yang teratur, dia
sudah tertidur. Aku bangkit dan menghampirinya, “maafkan aku mas,”
bisikku pelan, dengan lembut ku kecup pipinya.
***
6
bulan pernikahan, tidak ada masalah yang cukup berarti dalam kehidupan
kami, jika aku sedang marah, Abdullah lebih banyak mengalah, hanya
kata-kata hikmah yang keluar dari bibirnya. Usaha rental sekaligus
warnet yang di kelolanya di depan rumah kami sudah lebih dari cukup
untuk keperluan hidup sehari-hari. Setiap malam, Abdullah tidur di
lantai, dan aku di atas tempat tidur. Meski kadang aku rindu ingin di
peluk olehnya, tapi jika melihat sepasang mata cacatnya menjadikanku
mengurungkan niat tersebut. Lebih banyak ku habiskan waktu di luar rumah
dengan ummahat, mengikuti pengajian, atau membaca kitab-kitab di
sela-sela waktu yang ada ketika terpaksa harus berada di rumah.
Sore
ini aku tengah memasak untuk makan malam, dari arah luar kudengar suara
suamiku, “assalamu’alaykum..” “wa’alaykumsalam..” sahutku dari
belakang. “sayang, tau nggak, tadi mas ketemu Abu Azzam, trus..”
Praanggg! Suamiku menyenggol panci sop yang ku letakkan di meja dekat
kompor, tentu saja kuah dan isinya behamburan di lantai. “aduh! Mas ini
gimana sih? Aku udah masak capek-capek malah di senggol, coba kalo jalan
tu liat-liat, kayak nggak punya mata aja sih!” tanpa sengaja kata-kata
kasar terlontar dari bibirku. Aku kesal bukan main. “astaghfirullah..
bukannya Maryam tau, kalo mas memang buta sejak awal pernikahan?” suara
suamiku terdengar bagai bisikan. Aku melihatnya meneteskan air mata. “7
bulan pernikahan Maryam, aku bersabar, mengikuti semua maumu, aku tidak
pernah menuntut hubungan suami istri yang seharusnya kita lakukan, 7
bulan aku tidur di lantai, pernahkah aku mengeluh? 7 bulan lamanya kamu
membentakku, seperti tidak menganggapku sebagai suami, tapi pernahkah
aku marah? Balas membentakmu? Pernahkah sekali saja, aku minta kamu
mencucikan bajuku? Pernahkah tak ku puji masakanmu, meski hanya nasi dan
telur ceplok? Aku berusaha membahagiakanmu Maryam, melakukan apa saja
yang kamu suka, dan menghindari semua hal yang tidak kamu suka, aku
berusaha menjadi suami yang baik, aku takut Maryam, Allah menghukumku
karna tak sanggup mendidikmu menjadi istri yang solihah..” Abdullah
menyeka air matanya. Aku terdiam. “bisakah, kamu terima keadaanku?
Bisakah, kamu belajar mencintaiku bukan karna penampilan fisik saja?
tapi cintailah aku karna Allah.. cukup Allah saja yang kamu jadikan
alasan untuk menerima keadaanku ini, jika kamu memang sudah tak sudi
mencintaiku karna alasan yang lain..” kami terdiam cukup lama. “maafkan
aku mas, aku nggak bisa.. tolong ceraikan aku,” aku berlari menjauhinya,
aku pergi dari rumah.
Sepanjang
jalan aku menangis, hatiku perih sekali. Demi Allah Abdullah, aku
berusaha mencintaimu, tapi aku tak bisa.. batinku sesak. “Maryam..” dari
arah belakang ku dengar suara seorang wanita. Aku menoleh. “dokter
Almira!” aku memeluknya seperti anak ayam yang merindukan induknya. Saat
ini aku memang sedang butuh seseorang untuk berbagi. “loh, kok nangis?
Ada apa? Yuk kita ngobrol di gerai situ bentar,” dokter Almira menarik
lenganku. Mengajakku duduk di gerai makanan itu. Dia memesan capuccino
untuk kami berdua. “ada apa ini? Kenapa sendirian? Mana suamimu?”
tanyanya pelan. Ia mengelus pundakku dengan lembut. “7 bulan dokter, 7
bulan lamanya saya berusaha mempertahankan pernikahan ini.. saya nggak
mau mengecewakan kedua orang tua saya, tapi saya nggak tahan, saya nggak
bisa menerima kekurangannya..” aku terisak. “sabar ya.. tapi, apa
sebenarnya kekurangan Abdullah? Setau saya, dia itu orang yang sangat
baik, saya fikir kamu sudah berbahagia dengannya,” dokter Almira
menatapku dalam-dalam. “saya nggak bisa mencintai dia, benar-benar nggak
bisa, saya jijik melihat kondisinya yang buta, saya sudah berusaha
untuk menerima ini semua, tapi tiap kali saya di dekatnya, hanya ada
rasa benci dan jijik..” aku menangis lagi. “astaghfirullah.. Maryam,
bagaimana mungkin kamu bisa berkata seperti itu? Bukankah dia buta karna
memberikan sepasang matanya kepadamu?” aku tersentak kaget. Dadaku
serasa di hujami ribuan ton. “apa dok?” aku ternganga tak percaya. “loh,
kamu nggak tau, kalau matamu itu mata Abdullah? Sebelum kamu menerima
lamaran Abdullah untuk yang kedua kalinya, dia mendonorkan matanya
untukmu, dia bilang, kamu itu wanita yang tulus, sebelum kecelakaan yang
merenggut penglihatanmu, kamu pernah berkata kepada ibumu, bahwa kamu
akan menerima siapapun calon suamimu, walau dia buta, lumpuh, bisu
bahkan kusta sekalipun kamu akan tetap menerimanya, kamu hanya berharap
memiliki suami yang baik aqidahnya..” air mataku semakin deras mengalir,
“astaghfirullah..” desahku, “makasih dok,” aku memeluknya lalu berlari
pergi.
Aku
berlari memasuki rumahku, ku cari-cari Abdullah di setiap sudut rumah.
Ku lihat dapur sudah bersih, rupanya suamiku membersihkan tumpahan panci
tadi. Air mataku menetes, ya Allah.. siapakah aku ini? Bagaimana bisa,
aku tidak bersyukur atas hamba terbaik yang Kau pilihkan untuk
mendampingi hidupku? Di mana lagi akan ku temui suami sebaik dia? Maha
Suci Engkau ya Allah.. ampuni aku. Batinku menangis. Samar-samar ku
dengar lantunan ayat suci al qur’an, suamiku ada di belakang! Hampir
saja aku menjerit saking bahagianya, aku berlari ke belakang, dadaku di
penuhi cinta. Aku melihat punggung suamiku, terus ku dengarkan bacaan
qur’annya sampai ia berhenti dan menutup quran itu. “aku mencium wangi
tubuh istriku.. sayang ada di mana? Maafkan mas..” suamiku memutar
tubuhnya, ia berdiri dan menerka-nerka aku ada di mana dengan
tongkatnya. Aku mendekatinya, ku ambil tongkatnya dan ku letakkan di
lantai. Ku genggam kedua jemarinya dengan jemariku. “subhanallah..” dia
mencium jemariku dengan lembut. “kenapa nggak nyariin aku tadi?? mas
jahat!” aku mencubit pelan lengannya. “ma-maaf..” ku rasakan tubuh
suamiku bergetar. 7 bulan lamanya, tak pernah kami berhadapan sedekat
ini, sejak awal pernikahan. “sayang, jangan pernah ucapkan kata cerai
lagi ya? Mas tau ini salah mas, tapi..” sebelum ia sempat menyelesaikan
ucapannya, aku keburu memotong ucapannya dengan bibirku, ciuman hangat
yang begitu manis. “subhanallah,” desahnya ketika aku melepaskan bibirku
dari bibirnya. “aku mencintaimu Hanif Abdullah.. saat ini, bidadari
surga pun tengah cemburu padaku, pria yang mereka rindukan untuk
bercinta dengan mereka di surga, tidak akan pernah mereka dapatkan..”
aku mencium kedua mata suamiku dengan penuh rasa sayang.
“Alhamdulillah..” hanya itu yang terlontar dari bibir suamiku, dia
memelukku dengan erat
“..Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui..”
QS 2 : 216
*Maryam Fhebyo Khathab, Bumi Allah, 18 Mei 2010, ^_^V
No comments:
Post a Comment