Sunday, April 15, 2012

Abdullah Yg Dirindu Bidadari Syurga..



Apa bedanya aku dengan wanita biasa?? Hampir tak ada bedanya selain kerudungku yang sedikit lebih besar dari teman-teman sekelasku, juga gamis atau baju panjang terusan yang biasa ku kenakan di antara jejeran mahasiswi kampus. Aku juga terjun sebagai aktifis dakwah kampus, sedikit menarik karna ternyata hafalan qur’anku cukup bagus, meski tidak ku aplikasikan secara menyeluruh dalam kehidupanku, tapi al qur’an adalah bacaan favoritku. Rupanya, banyak juga buku yang ku koleksi dan ku baca, sebagian besar akhwat sampai sering bertanya, “apa buku itu habis anti baca semua?” dengan senyum tersungging aku menganggukkan kepala. Memang aku bisa membeli buku, menghafal isinya, dan berbicara dengan penuh teori masuk akal, atau penjabaran spesifik tentang apa yang ku dapat dari buku itu, tapi aku lupa bahwa amalan itu penting, jauh lebih penting daripada sekedar teori. Sepertinnya aku memang cukup pandai dalam ber-teori, asumsi maupun berspekulasi, tapi kelabakan dalam pengamalannya. Aku punya cita-cita sederhana yang begitu tulus, aku ingin di terima di mana saja aku berpijak, aku tidak ingin merusak suasana yang ada, seperti ulat yang memakan daun yang di pijakinya. Aku ingin hidupku lurus-lurus saja, di penuhi orang-orang yang menyukaiku, dan aku merasa tenang di antara mereka. Itu sebabnya aku tidak begitu menjaga pandangan ketika berbicara dengan lawan jenis. Aku membaur di antara mereka tapi tidak tersentuh, semua pria yang mengenalku, bahkan pria paling bodoh sekalipun dalam mengenal agamanya, tau bahwa aku tidak suka di sentuh, dan mereka menghargai itu. Aku tidak pacaran, meski banyak pria mengungkapkan rasa cintanya kepadaku, tapi aku tidak pernah berniat sekalipun, bahkan sedetikpun berfikir untuk bercinta dengan salah satu di antara mereka, para pria yang tidak menghargai cinta, pria yang merendahkan wanita, yang seenaknya saja hendak menumpahkan nafsu birahinya pada setiap wanita yang mengundang hasratnya, pria yang tidak menjaga kemaluannya, aku tidak mau, sama sekali tidak bernafsu dengan pria macam itu, setampan apa pun rupanya. Itu sebabnya aku heran jika melihat ada akhwat yang terjatuh dan kemudian pacaran dengan pria sejenis itu. Hufft.. Selama ini, aku fikir itu cara paling efektif, menjadi akhwat yang dapat di terima di lingkungannya, bagus bukan? Tapi aku lupa, dan aku lalai, bahwa ketika aku tidak menjaga pandangan, mereka bebas menatap wajahku, ketika aku bersikap hangat, ramah tamah kepada mereka, mungkin saja dalam fikiran mereka aku cukup menarik, sehingga muncul angan kotor dalam diri mereka tentang aku. Seharusnya hal seperti itu ku pertimbangkan sejak awal dalam etika bergaul..


Selalu mencari pembenaran, bukannya kebenaran, itulah aku, lebih suka memperturutkan hati dan perasaan di banding pengetahuan yang sudah ku miliki. Jika aku menyukai sesuatu, maka aku akan jadikan itu sebagai bagian hidupku, jika orang lain menganggapnya kurang baik, maka aku tak akan perduli, nasihat orang itu akan ku abaikan, prinsipku; selamanya aku akan jadi diriku sendiri, jika kau tak suka padaku, maka itu masalahmu, berhentilah memandang seseorang dari sudut kacamatamu. Aku memang sedikit menyebalkan, bahkan perkataan murobbiku sendiri seringkali ku abaikan, tapi tak pernah langsung di hadapannya tentu saja, jika dia memberi nasehat, aku lebih suka manggut-manggut sembari berkata, “iya mba, iya mba..” tapi kemudian aku tersenyum dan sudah lupa apa yang barusan ia ucapkan.
Jatuh hati dengan ikhwan ‘tetangga’, hmm.. itu juga salah satu episode yang sepertinya harus ada dalam cerita kehidupanku, beberapa waktu yang lalu hampir saja aku menikah dengan seorang ikhwan salafy, jika saja Allah tidak menyelamatkanku dengan wejangan murobbi. Allah juga menunjukkan betapa menyebalkannya sifat si ikhwan yang mengaku-ngaku paling salafuhs salih itu, yang dengan mudahnya mem-bid’ahkan para pelaku pembaca surah yasin di masjid, padahal dia sendiri belum tentu hafal surah yasin, dan satu lagi, se-enak dengkulnya mengatakan Amrozi cs khawarij.. hmm, padahal menurutku, apa yang asy syahid Amrozi cs (insyaAllah) perbuat, hanyalah ihwal ijtihad di kalangan mujahid jihad, wajar saja jika berbeda-beda dalam amaliyah, tapi tidak perlu di per-salahkan bukan? toh perbedaan itu akan tetap ada sampai kapan pun, sampai Allah memberikan ketetapan-Nya. Jika mengingat runtutan kejadian yang cukup menarik dalam hidupku, kadang hati kecilku bertanya; “kenapa tindakan dan keputusan yang ku ambil seringkali bertentangan dengan ilmu yang ku punya??” dan aku pun terdiam, aku tak punya jawaban yang lebih baik selain bahwa sebenarnya itu semua adalah perturutan dari egoku semata. Selama ini aku fikir, aku tak akan pernah bisa membenci suatu perbuatan tanpa membenci pelakunya, bohong rasanya jika aku berkata bahwa aku benci perbuatan kaum Yahudi Israel tanpa membenci orang-orang Yahudi itu sendiri. Tapi rupanya, bertahun-tahun lamanya aku lakukan hal itu pada seseorang, yakni diriku sendiri. Aku benci apa yang aku lakukan, tapi sekalipun tak pernah ku kutuk diriku sendiri, apa lagi menghukumnya.  Aku tau, kalau sedang bicara aku terlalu blak-blakan, sehingga terkesan lupa untuk menjaga hati dan perasaan orang lain. Padahal itu perlu aku lakukan, jika ingin hubungan baik tetap terjalin dengan orang lain, karna jelas aku tidak hidup sendiri di dunia ini, selalu dan pasti akan terus berhubungan dengan orang lain..


***




Ini bagian terindah dalam hidupku, aku sedang jatuh cinta pada seorang pria terbaik yang ku kenal di tahun 2009 ini, :) mungkin agak berlebihan, tapi ini sungguh-sungguh. Aku mengenalnya ketika pertama kali memasuki bangku kuliah, tidak di pungkiri, aku jatuh hati padanya pada pandangan pertama. Aku rasa setiap akhwat yang mengenalnya akan bersimpatik pada sosok sederhana seperti dia, celananya cingkrang, dia berjanggut tipis dengan wajah bersih, jidatnya hitam tanda bahwa dia sering bersujud.


Tentunya Allah punya rencana ketika ternyata Dia memperkenalkan kami. Di suatu pagi yang cerah, ketika aku sedang duduk di meja ruang kerjaku, manager divisiku menegurku, yah.. aku memang pekerja keras, selain kuliah aku juga sudah bekerja, aku suka dengan kesibukan dan penghasilan yang bisa ku pergunakan untuk keperluan hidupku sendiri, sehingga tidak perlu membuat jidat kedua orang tuaku berkerut lantaran memikirkan keperluan hidupku.


“Maryam kenal dengan Aminudin?” tanya managerku pada pagi itu. Sepasang alisku terangkat. “enggak mas,” sahutku seadanya.masa sih? Dia kenal Maryam lho,” sahutnya. oh ya? Kenal saya? Emang ciri-cirinya gimana? Trus dia ada bilang apa?” tanyaku agak penasaran, aku berfikir keras, mencoba mengingat-ingat siapa itu Aminudin. “kakak tingkat Maryam di kampus, dia karkun juga, orangnya cakep, agak kurus dan tingginya mungkin sama dengan saya, waktu itu kita ngobrol di markas, saya jadi tahu bahwa ternyata dia satu kampus dengan Maryam, nah waktu saya tanya apa kenal Maryam dan nyebutin ciri-ciri Maryam, ternyata dia tahu, dan bilang kalau dia kenal Maryam, gitu..” hah? Kak Aminudin ya maksudnya??” tanyaku tak percaya, masa sih kak Amin juga kenal sama aku? Kenal dari mana? Walau aku tahu sedikit tentang dia, tapi kami nggak pernah berkenalan secara langsung, jadi bagaimana dia bisa tahu namaku? Batinku tak habis fikir, saat itu juga aku merasa darahku bergejolak. “iya, Aminudin.. dari tadi kan yang saya bilang emang Aminudin..” managerku tersenyum menatapku, lalu melanjutkan pekerjaannya.


Sepulang kerja aku lanjut kuliah, agak sedikit capek memang, tapi demi harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik, dan strata sosial yang meningkat di tengah masyarakat, aku harus berusaha menikmati aktifitasku ini. Meski tidak mudah membagi diri dan waktu sebagai karyawan, mahasiswi, seorang anak di tengah-tengah keluarga, dan pengemban dakwah nubuwah, tapi inilah kesempatan yang sudah Allah berikan untuk menjadi lebih kuat dan dewasa, jika aku tidak memanfaatkan ini dengan baik, maka aku adalah orang ter-kufur seantero jagat raya
Aku berjalan menyusuri koridor kampus, tanpa sengaja tatapanku tertubruk pada kakak tingkatku yang cukup ku kenal, namanya Nasrul, tiba-tiba saja aku terfikir untuk bertanya tentang Aminudin padanya. Sesampainya di rumah, aku mengirim pesan pada Nasrul melalui pesan singkat di handphone, atau sms.


“Asalam. Kak nasrul, mau nanya nih, kak Amin itu Jamaah Tabligh ya? Sejak kapan?” sms terkirim. Aku merebahkan tubuh di atas kasur. Kalau di fikir-fikir, isi sms ini aneh ya? Masa’ mau nanya dia kenal aku darimana saja sampai harus menanyakan masalah pergerakan sih? Hufftt.. handphoneku bergetar, balasan sms dari Nasrul. “wa’alaykumsalam. Kurang tau ukh, coba tanya langsung sama Amin nya..” aku menghembuskan nafas kuat-kuat.

“oh gitu, afwan deh, cuma heran aja, dia bilang sama bos kantor ana kalo dia kenal sama ana, padahal ana gak ngerasa pernah kenalan sama dia, dan ternyata dia emang satu jamaah sama bos ana..”

***

“afwan ukh, ada nanyain ana sama akh Nasrul ya? Iya, ana emang karkun kayak mas Yusuf, bos anti, kebetulan ana emang tau aja anti yang mana, makanya kemaren waktu mas Yusuf nanya kenal sama anti atau gak, ana bilangnya kenal, walau sebenarnya kita gak kenal secara langsung, dan bahkan mungkin anti gak tau siapa ana, afwan juga udah lancang minta nomer hp anti sama akh nasrul.. -Aminudin-”
Aku bangkit dari kasur seraya mengucek-ucek mata, aku dapat sms dari Amin! rasanya bahagia sekali! Kebahagiaan yang sukar di jelaskan dengan kata-kata. Itulah awal perkenalan kami. Suatu hari, dia meminjamkan aku sebuah buku, judulnya Quo Vadis Salafy, aku menemuinya di halaman parkir kampus untuk mengambil buku itu, dan itulah pertama kalinya aku melihat dia dengan jarak yang cukup dekat. Walau sudah berusaha menundukkan pandangan, tapi tetap saja hatiku berdesir tak karuan.


Makin hari, hubungan kami makin dekat, dia benar-benar memposisikan diri sebagai saudara yang baik. Karna kebetulan dia cukup cerdas, seringkali dia membantu mengerjakan tugas-tugas kuliah yang cukup sulit dan kurang ku mengerti. Dia juga mengajariku mata kuliah yang tidak ku mengerti itu, kami belajar bersama di mushola, dengan di batasi kain hijab dan dengan di dampingi orang ketiga tentunya.


Benih-benih cinta pun tumbuh bersemi, perlahan tapi pasti, makin subur dan terus berkembang. Antara cinta dan nafsu, keduanya berjalan beriringan menggetarkan sendi-sendi tubuh. Ketika gejolak rasa sudah tak mampu di bendung, saat bisikan syahwat makin menderu kencang, manakala iman mulai meluntur dan syetan terus merayu, terungkaplah bisikan cinta dari bibir kami, mulailah kata-kata ‘aku mencintaimu karna Allah’ makin sering kami umbar sebagai bentuk keseriusan kami.


Dia ingin menikahiku, dan tentu saja, aku juga ngin sekali menikah dengannya. Adakah manusia di bumi ini yang tak ingin bersatu dengan orang yang di kasihinya? Aku mulai mengkomunikasikan hal ini dengan murobbi, kata murobbiku; “di ajak ngaji sama ustadz kita aja dulu, Maryam sudah paham tentang dien, aqidah, juga wala wal baro’ kan?” aku melengos. Yah, aku paham tentang semua itu, bahkan sangat paham sekali. Tapi cinta terlanjur membutakan mata hati. Aku bersikeras bahwa setelah menikah nanti, Amin pasti mau di ajak mengikuti jalan kami, aku mengeluarkan beribu alasan pada murobbiku untuk menutupi sebuah alasan sebenarnya; yakni, bahwa Amin belum bisa menerima pola perjuangan kami, itu sebabnya dia belum bisa mencoba mempelajari apa yang selama ini aku pelajari, tapi dia janji setelah menikah nanti akan berusaha untuk menerima pola perjuangan kami, tentunya dengan izin Allah. “tak ada yang berbeda di antara kita, Allah dan rasul-Nya lah tujuan kita, ridho-Nya bukan, yang kita cari? Tidak ada yang berbeda dalam hal ini antara ana dan juga Maryam,” ucap Amin pada suatu hari. Pikiranku pun makin berkecamuk tak menentu.


***


Malam ini, air mataku jatuh berlinang. Sajadahku basah oleh air mata. Kedua mataku sudah membengkak. Jika di tanya bagaimana hatiku, tentu sangat-sangat sakit sekali. Tok.. tok.. tok.. pintu kamarku di ketuk dari luar. Dengan sisa tenaga yang ada, aku mencoba menghapus air mata yang seolah tak mau berhenti menetes.

“siapa?” tanyaku dari dalam kamar. “ini ummi, nak.” suara ummiku terdengar dari luar. “Hanif Abdullah dan keluarganya sudah menunggu di ruang tamu, ayo cepat keluar,” sambung ummi lagi.  “Maryam lagi nggak enak badan mi, bilang aja lamarannya di terima, beres kan?“ sahutku.  “iya, tapi kan kamu belum liat orangnya, gimana sih?” “udahlah mi, nggak ada gunanya juga Maryam ngeliat orangnya, mau dia buta kek, lumpuh, bisu, tuli, kusta, udah nggak masalah, yang penting aqidahnya selamat kan? Bukannya itu yang selalu ummi bilang?!” suaraku meninggi. Rasa sakit makin tak terbendung. “astaghfirullah..” ummi mendesis, lalu perlahan ku dengar langkah kakinya menjauh dari pintu kamarku. Aku menangis lagi.


***


“subhanallah, nggak kerasa ya ukh, satu minggu lagi statusnya berubah..” ucap Laila sembari tersenyum menatapku. Aku balas tersenyum, meski hambar. “orangnya seperti apa? Ana dengar hitam manis ya?” tanyanya. Aku menggeleng. “nggak tau tuh, ketemu aja nggak pernah, jangankan ketemu, fotonya aja sampai detik ini nggak pernah ana liat, ana taro aja di laci kamar ummi.” sahutku garing. “hah? Masa sih? Jadi anti main terima aja?” tanya Laila tak percaya. Aku mengangguk. “yang penting aqidahnya selamat kan? Yah, mau item manis kek, atau item pahit kayak Bilal juga nggak ngefek,” sahutku ketus. “eh, jangan salah.. ahlaknya juga seperti Bilal lho, sebelas dua belas lah,” ku dengar ummi menyahut dari arah dapur. Laila terkekeh mendengarnya. “subhanallah, dapat yang seperti Bilal sahabat rasul.. aamiin, itu yang namanya barakah ukh..” Laila memelukku. “udah ah,” aku melepaskan pelukan Laila. “ana mau jalan-jalan bentar, mau ikut ukh?” aku mengalihkan pembicaraan. Jengah rasanya mendengar nama Hanif Abdullah terus di perbincangkan oleh orang-orang di sekitarku. “mau jalan-jalan kemana? Ntar lecet lho, seminggu lagi kan mau nikah ukh,” sahut Laila. “yah, kemana aja lah, ikut nggak?” tawarku lagi. “nggak deh, ana di sini aja bantuin ummi, kan lagi sibuk-sibuknya nyiapin buat walimatul ursy anti, jemputin ukhti Hening aja, jadi anti nggak keluar sendirian, ya ukh?” pinta Laila lagi. “liat ntar deh, ya udah, assalamu’alaykum..” aku beranjak menuju dapur, ummi terlihat sibuk mengatur barang belanjaan di bantu beberapa anggota keluargaku yang lain. “mi, Maryam keluar bentar ya? Bentar aja kok mi,” aku meminta izin. “mau kemana?” tanya ummi. “mau beli es krim..” sahutku. “ya sudah, tapi jangan lama-lama ya, dan ingat, hati-hati.” “oke ummi, assalamu’alaykum!” aku berlari-lari kecil ke luar halaman. Ku pacu Honda Varioku dengan kecepatan sedang. Minggu siang yang cukup cerah, aku menghirup udaranya dengan perasaan senang, yah ini cukup menghibur, setidaknya untuk menerima kenyataan bahwa seminggu lagi hidupku akan berubah, aku akan menjadi istri dari seorang ikhwan yang tak ku kenal sama sekali, aku hanya tau namanya Hanif Abdullah, dan aqidahnya selamat, itu yang selalu orang tua dan murobbi tekankan padaku. “kamu akan mencintainya setelah mengenal dia lebih jauh, dia soleh dan berilmu, dia jauh lebih baik dari Aminudin, percayalah pada ummi,” kata ummi pada suatu hari. Betulkah demikian? Adakah yang lebih baik dari kak Amin? Batinku menangis. Tanpa sadar, sebuah mobil dengan kecepatan penuh sudah nampak di hadapanku, sekuat tenaga aku mencoba menghindar, namun terlambat, Honda Varioku menghantam bagian depan mobil itu, aku terlempar, lalu semuanya gelap.


***


Aku termangu di sudut kamar, dua bulan total aku habiskan waktu di kamar ini untuk memulihkan keadaan. Tak ada lagi yang bisa ku perbuat. Kecelakaan itu telah merenggut penglihatanku, benturannya membuat aku buta seumur hidup. Satu persatu ikhwah berdatangan, menunjukkan simpatik yang mendalam terhadapku. Aku hanya bisa menangis, meminta doa mereka agar dapat kuat menghadapi cobaan ini. Sekarang, hidupku benar-benar bergantung pada kedua orang tuaku, aku di papah, sangat menyedihkan.


“Maryam, ada Abdullah di luar, mau ketemu.” ummi meremas pundakku. “untuk apa mi? Pernikahannya di batalkan aja, Maryam ikhlas kok,” aku tersenyum. Ku raba wajah ummiku, lalu ku elus pipinya. Terasa butiran bening mengalir dari sudut matanya. Meski seumur hidup aku buta, aku tak boleh lupa pada wajah ummi, sama sekali tak boleh. “ketemu sebentar ya sayang,” pinta ummi. Aku tak mau mengecewakannya, ku anggukkan kepalaku. Ummi membantuku berjalan ke ruang tamu, lalu kami duduk berseblahan di sofa ruang tamu. “assalamu’alaykum ukhti Maryam, khaif hal?” suara berat Abdullah terdengar. Untuk pertama kalinya aku mendengar suaranya. “seperti yang antum lihat, hanya kasih Allah saja yang menjadikan hal ini terasa sedikit lebih ringan.” aku tersenyum. “alhamdulillah.. sudah makan? Ana bawa Dorayaki, asli dari jepang, mau coba?” tanyanya pelan. “hah, dorayaki? Memangnya dorayaki beneran ada ya?” aku balik bertanya, tak percaya. “wah, katro’ anti ni, ada tau.. penasaran sama rasanya kan?” “iya, penasaran banget, ana kalo ngeliat doraemon makan kayaknya enak banget, ana fikir itu cuma makanan boongan, ternyata bener-bener ada ya, tapi ngomong-ngomong antum tau dari mana ana penasaran sama Dorayaki?” “dari biodata ta’aruf, mungkin ana sudah hafal di luar kepala tentang anti,” “oh gitu, eh mana Dorayakinya? sini kasihin ana,“ “itu, di depan anti,” “eh, ngolok ya, ana buta tau,” “hehe.. ana baru kali ini ketemu orang buta yang cantik,” “hoeekkks.. mau nggak ketemu orang buta yang songong?” sahutku bercanda. Dia tertawa kecil. Ummi mengambil Dorayakinya dan memberikan padaku. “wah, enak banget, Cheese spread-nya kerasa banget..”


***


“Maryam, ini bunga dari Abdullah,” ibu menyodorkan seikat bunga, dari wanginya aku tau itu mawar. “makasih mi,” aku menghirup wanginya dan merasakan ketenangan. “Abdullah tetap ingin menikah denganmu,” jelas ummi. Aku menggeleng. “nggak mi, Maryam nggak bisa nikah dengan siapapun dalam kondisi seperti ini,” “tapi sampai kapan nak? Abdullah itu tulus mencintaimu..” “ummi, ngertiin Maryam ya? Kalau Allah berkehendak, suatu hari nanti Maryam bisa ngeliat, mungkin saat itulah Maryam akan menikah, tapi nggak dengan kondisi seperti ini..”

“Maryam, kita dapatkan pendonor mata untukmu nak!” ummi memelukku erat. “ummi serius?! Allahu akbar!” aku bersujud, air mataku meleleh saking bahagianya. Operasi berjalan lancar, aku sudah tak sabar lagi ingin melihat dunia, ketika perban mataku di buka, satu persatu kudapati wajah yang sudah tak asing lagi dihadapanku. Ada ummi, abah, Laila, dan banyak akhwat lainnya. Mereka semua memelukku bergantian seraya bertasbih memuja Allah. Aku pun tak henti-hentinya menangis dan mengucap syukur kepada Rabb yang begitu baiknya. “mi, Maryam bersedia menikah dengan Abdullah, sekarang Maryam sudah bisa melihat,” “alhamdulillah,” ummi memelukku erat.

Untuk kedua kalinya keluargaku kembali menyiapkan walimatul ursy, kali ini aku begitu bahagia. Aku sudah tak sabar ingin bersanding dengan Abdullah. Aku menatap wajahku di cermin, cantik sekali. Balutan busana muslimah modern yang tetap syar’i, di tambah riasan salon ternama di kotaku, makin mempercantik diri ini. Dari balik kamar aku menyimak ijab qabul dengan kusyuk. Setelah Abdullah resmi menjadi suamiku, aku beranjak keluar kamar di dampingi Laila. Itulah pertama kalinya aku melihat Abdullah yang kini resmi menjadi suamiku…

Para tamu masih terus berdatangan, tapi aku sudah tak berminat lagi untuk duduk di pelaminan, aku memilih menyembunyikan wajahku dibalik bantal. “Maryam, ayo keluar, para undangan mencarimu nak..” ummi menarik bantalku. Tampak wajahku yang berlinang air mata. “pantas saja dia mau menikah denganku, kenapa ummi nggak pernah bilang kalau dia juga buta?!” aku terisak. “Maryam.. maafkan ummi nak, ketika pertama kali dia melamarmu, apa kamu lupa dengan ucapanmu? Kamu bilang kalau kamu nggak perduli apa suamimu nantinya buta, tuli, bisu, atau bahkan kusta sekalipun, kamu akan tetap menerimanya kan? Bagimu yang terpenting aqidahnya selamat bukan?” “itu bukan bagi Maryam, itu bagi ummi!” aku terus menangis tak henti-hentinya..


“sayang, ayo masuk, kita shalat sunnah berjamaah dulu..” Abdullah menghampiriku, ia meraba-raba pinggiran kursi panjang yang ku duduki, lalu ikut duduk di sebelahku. Sekilas aku menatap kedua matanya, mengerikan sekali. “aku capek.” sahutku ketus. “istighfar.. apakah kita lebih mulia dari para ulama, yang sepanjang hidupnya menghabiskan waktu untuk beribadah, memikirkan umat, dan menyebarkan ilmu, sehingga merasa berhak untuk letih beribadah? Besok pagi, mungkin saja kita kembali pada Allah, atau lima menit dari sekarang, maukah kita meninggal dalam keadaan kufur?” “ya nggak mau lah,” sahutku lebih ketus. “ya udah, shalat dulu yuk,” “iya iya!” aku beranjak meninggalkannya. “eh sayang, tungguin, papah suamimu ini..” pintanya memelas. “ogah! Jalan sendiri!” teriakku sembari mendahuluinya untuk berwudhu.

“lusa, kita udah pindah ke rumah baru kita, rumah itu sudah mas persiapkan jauh sebelum kita menikah. Rumahnya nggak begitu besar, tapi asri sekali, di bagian belakang ada pendopo untuk murid-murid mas belajar baca quran, ada mihrab yang nggak begitu besar, ada pohon mangganya, sayang suka mangga kan? Ada kolam kecil, kita pelihara ikan koi di situ, catnya warna pink, trus..” “stop! Siapa yang mau pindah dari sini? Kalau mas mau pindah, tafadhol, aku tetep di sini sama abah, sama ummi!” “astaghfirullah.. sayang, usaha mas ada di depan rumah itu, gimana mas bisa kerja kalau kita tinggal di sini?” “kan aku udah bilang, tafadhol mas, mau pindah atau nggak, itu urusan mas, aku tetap di sini,” “tapi kan Maryam istri mas, bukannya harus ngikut suami tho? Masa pisah rumah?” “sebenarnya aku lebih suka misah daripada tinggal serumah sama mas!” aku beranjak hendak meninggalkan Abdullah, tapi dia menahan lenganku. “lepas!!!” jeritku histeris, aku tak sudi tanganku di sentuh olehnya, makin hari aku makin jijik pada pria yang tak lain adalah suamiku sendiri ini. “jika Maryam nggak mau memandang mas sebagai suami, tolong, pandanglah Allah..” aku terdiam, tanpa sadar air mataku menetes. Aku duduk kembali di sebelahnya. “pakai ilmunya sayang, ingatlah pada sabda rasulullah, Apabila seorang istri sudah mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan padanya: masuklah engkau ke dalam jannah dari pintu mana yang engkau suka..” aku terisak. “mas nggak ngajak untuk bermaksiat kan? Harusnya keinginan mas ini bisa Maryam ikuti, bukannya ini sarana bagi seorang istri untuk masuk surga?” “oke, kita akan pindah ke rumah itu, tapi demi Allah, berjanjilah untuk tidak menyentuhku! Aku nggak sudi mas!” Abdullah tersenyum. “memangnya boleh, menggunakan nama Allah untuk bersumpah agar tidak mengerjakan suatu perbuatan baik? Sayang ini kenapa sih, bicaranya seperti orang yang hilang ingatan, bukannya sudah tau hukumnya ya?” “udah deh, mas nikah aja lagi, aku ridho kok,” sahutku mengalihkan pembicaraan. Dia terkekeh. “kalau bercanda jangan berlebihan ya sayang,” dia mengelus kepalaku yang tertutup kerudung. Lalu berdiri seraya meraba-raba lantai dengan tongkatnya. “mas kemasin barang-barang kita dulu ya,” sahutnya seraya berjalan masuk ke arah kamar. Air mataku menetes, sungguh Abdullah lembut sekali, dia pria yang sangat baik, tapi aku tidak bisa menerima kekurangannya, karna dia buta ya Allah..


Hari pertama kami menempati rumah baru ini. Sungguh suasananya nyaman sekali, cat rumah yang berwarna pink lembut, makin menenangkan suasana hatiku, Abdullah memilih warna kesuakaanku rupanya. Di halaman belakang ada Pendopo yang di teduhi pohon mangga, gemericik air kolam, makin membuatku kerasan berlama-lama di halaman ini. “sayang, mau mas ambilin mangga nggak?” tiba-tiba Abdullah berdiri di sampingku, tentu saja di temani tongkat ajaibnya, benar-benar merusak suasana, gerutuku. “kok mas tau sih aku ada di sini? Bukannya mas nggak bisa liat ya?” tanyaku heran. Dia tersenyum tipis. “apa susahnya menemukan bidadari di rumah ini? Istri mas itu wangi.. sekali, bahkan kalaupun mas ada di planet luar, mas tetep bisa mencium wanginya, dan alhamdulillah, cuma mas yang bisa mencium wanginya, jadi walau nggak bisa melihat kecantikannya, tapi dari wanginya saja bisa terdeteksi..” “hoeeekkksss.. mau muntah dengarnya” sahutku cuek. “jangan gitu ah, nggak baik, nggak boleh kasar ya?” “mas itu salah pilih pendamping hidup, kalau mau yang nggak kasar, bukan aku orangnya,” “hah? Masa sih salah? Ini kan pilihannya Allah, udah pasti pas lah.. sayang itu beruntung tau nggak, udah dapat mas, kan Allah yang milihin..” “diaaaaaaaammmmm!! eneg dengernya!!” ku dorong wajahnya agar menjauh dari wajahku, lalu aku berjalan masuk ke dalam rumah, sempat ku dengar celetukan suamiku, “subhanallah, jemari istriku lembut sekali, Alhamdulillah..”


Malamnya, usai shalat isya berjamaah, aku segera meninggalkan mihrab, tak ada adegan cium tangan suami. Aku merasa itu tak perlu. Ku nyalakan tv dan menontonnya. Walau siarannya sangat tak ku suka, tapi itu lebih menghibur di banding berduaan dengan suamiku. Samar-samar kudengar lantunan ayat suci al qur’an dari bibir suamiku, begitu merdu, air mataku menetes. Ya Allah, kapan aku bisa ikhlas menerima ketetapanMu? Aku terus menangis, tanpa sadar aku tertidur.


Samar-samar ku dengar suara Abdullah. “sayang, makan dulu yuk?” aku mengucek mataku, rupanya aku tertidur di sofa depan tv. Perutku keroncongan, sejak tadi siang aku belum makan apa-apa. “aku nggak masak mas,” sahutku. “iya, mas tau kok, pasti kecapekan karna kita baru pindah kan? Gimana kalau kita jalan aja, nggak jauh dari sini ada jejeran warung, lengkap lho, semua makanan kesukaan sayang ada di jual, mau mpek mpek, bakso, sate, pecel, Fried Chicken, tinggal pilih aja, gimana?” aku menatapnya. “apa? Jalan bareng mas? Ogah, aku malu di liatin orang, punya suami buta” sahutku kasar. Sekilas aku lihat mimik wajah suamiku berubah, ada guratan kesedihan di wajahnya, tapi berusaha di tutupinya. “ya sudah, sayang mau makan apa? Biar mas yang ke depan beliin,” sahutnya mengalah. “yee.. mas aja nggak bisa liat, gimana mau keluar rumah? udah ah, aku aja yang beliin, mau makan apa?” “hush! Ini udah malam, yang bener aja mau keluar jam segini? Sendiri lagi!” suara suamiku meninggi. “biasa aja dong ngomongnya, nggak usah teriak gitu!” aku balas teriak. Suamiku mengelus dadanya, “iya sayang, jangan keluar malam-malam.. biar mas aja ya? Mas hafal kok jalanan di sini, mau makan apa?” ia kembali melembutkan suaranya. “aku mau nasi padang,” “lho, bukannya sayang nggak suka nasi padang?” “lagi pengen aja,” sahutku. “maaf sayang, kalo nasi padang agak jauh, mas takut kenapa-kenapa nanti kalau ninggalin sayang kelamaan di rumah, makan yang lain aja ya?” “ngaaakkkkk!! mau nasi padaaaaaang!!” teriakku lagi. “ya sudah, jangan teriak-teriak gitu, ntar mas panggilin Iqbal, murid mas, dia kelas 3 SD, temani sayang bentar di sini, mas pergi dulu, assalamu’alaykum” lalu ia berbalik menuju pintu. Tak lama kemudian, murid ngaji suamiku yang bernama Iqbal datang menemaniku. Anak ini lucu sekali, kelakar polosnya membuat bibirku tersenyum. Tiba-tiba saja aku berfikir tentang anak, yah rumah ini pasti akan lebih ramai jika ada seorang anak kecil. Tapi bagaimana caranya? Aku begitu jijik membayangkan wajah suamiku.


Tetes demi tetes air hujan terdengar dari arah luar, makin lama makin lebat mengguyur bumi. “wah, hujan amah, kasian ustadz Abdul,” celetuk Iqbal. “yah, makanannya basah dong..” bisikku pelan. “kok amah malah mikirin makanan sih? Kan kasian ustadz Abdul kehujanan,” Iqbal menatapku heran, aku diam saja. Tak lama kemudian pintu di ketuk dari luar, “assalamu’alaykum!” ku dengar suara suamiku dari depan teras. “tolong bukain pintunya ya Iqbal, amah ambil handuk dulu di belakang” Iqbal mengangguk lalu beranjak menuju pintu. Ku lihat suamiku basah kuyup, celana kainnya nampak kotor, seperti habis menyentuh lumpur. Mungkin tadi dia terjatuh di jalan, fikirku. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam kemejanya, “ini makanannya tolong kasih amah Maryam ya Bal, suruh siapin untuk kita bertiga,” Iqbal lalu memberikannya kepadaku. Makanan itu di bungkus mantel tipis ukuran kecil, aku membuka mantelnya, di dalamnya masih ada plastik tebal, sekitar 3 lapis, baru kemudian nasi padangnya terlihat. Hangat sekali, satu tetes air hujan pun tak berhasil menyentuh kertas pembungkusnya, hampir saja aku meneteskan air mata karna terharu.


Selesai makan, Iqbal pamit pulang, rumahnya hanya bersebrangan dengan rumah kami. Dia benar-benar anak yang manis, selesai makan dia membantuku mencuci piring sebelum pulang. “sayang, kita kaji hadits sebentar yuk, sebelum tidur,” ucap suamiku. “aku udah ngantuk,” tanpa banyak kata lagi aku meninggalkan suamiku. Hujan kembali menetes setelah tadi sempat berhenti, aku berbaring di atas tempat tidur kami yang hangat, meski begitu, tubuhku masih saja kedinginan. Tak lama kemudian suamiku menyusul masuk ke kamar, dia membaringkan tubuhnya di sebelahku, melihatnya aku segera membelakanginya. Tanpa sengaja, lengannya menyentuh lenganku, tentu saja sentuhan seperti itu, di malam yang begitu dingin ini cukup menggetarkanku, gejolak syahwat sedikit bangkit. Suamiku membalikkan tubuhnya dan memelukku dari belakang. “sayang..” bisiknya di telingaku. Bulu kudukku menegang. Tanpa sadar aku meremas jemarinya. Dia mulai menciumi pipiku, ketika wajah kami bertemu, aku melihat matanya, seketika itu juga aku mendorongnya. “astaghfirullah..” ucapnya lirih. “jangan sentuh aku!” bentakku. “afwan,” suamiku meletakkan bantal dan gulingnya di lantai, dia tidur di bawah. “sayang, di lemari ada selimut, tadi siang mas taruh di situ, di pake ya,” lalu aku tak mendengar apa-apa lagi selain desah nafasnya yang teratur, dia sudah tertidur. Aku bangkit dan menghampirinya, “maafkan aku mas,” bisikku pelan, dengan lembut ku kecup pipinya.


***

 
6 bulan pernikahan, tidak ada masalah yang cukup berarti dalam kehidupan kami, jika aku sedang marah, Abdullah lebih banyak mengalah, hanya kata-kata hikmah yang keluar dari bibirnya. Usaha rental sekaligus warnet yang di kelolanya di depan rumah kami sudah lebih dari cukup untuk keperluan hidup sehari-hari. Setiap malam, Abdullah tidur di lantai, dan aku di atas tempat tidur. Meski kadang aku rindu ingin di peluk olehnya, tapi jika melihat sepasang mata cacatnya menjadikanku mengurungkan niat tersebut. Lebih banyak ku habiskan waktu di luar rumah dengan ummahat, mengikuti pengajian, atau membaca kitab-kitab di sela-sela waktu yang ada ketika terpaksa harus berada di rumah.

Sore ini aku tengah memasak untuk makan malam, dari arah luar kudengar suara suamiku, “assalamu’alaykum..” “wa’alaykumsalam..” sahutku dari belakang. “sayang, tau nggak, tadi mas ketemu Abu Azzam, trus..” Praanggg! Suamiku menyenggol panci sop yang ku letakkan di meja dekat kompor, tentu saja kuah dan isinya behamburan di lantai. “aduh! Mas ini gimana sih? Aku udah masak capek-capek malah di senggol, coba kalo jalan tu liat-liat, kayak nggak punya mata aja sih!” tanpa sengaja kata-kata kasar terlontar dari bibirku. Aku kesal bukan main. “astaghfirullah.. bukannya Maryam tau, kalo mas memang buta sejak awal pernikahan?” suara suamiku terdengar bagai bisikan. Aku melihatnya meneteskan air mata. “7 bulan pernikahan Maryam, aku bersabar, mengikuti semua maumu, aku tidak pernah menuntut hubungan suami istri yang seharusnya kita lakukan, 7 bulan aku tidur di lantai, pernahkah aku mengeluh? 7 bulan lamanya kamu membentakku, seperti tidak menganggapku sebagai suami, tapi pernahkah aku marah? Balas membentakmu? Pernahkah sekali saja, aku minta kamu mencucikan bajuku? Pernahkah tak ku puji masakanmu, meski hanya nasi dan telur ceplok? Aku berusaha membahagiakanmu Maryam, melakukan apa saja yang kamu suka, dan menghindari semua hal yang tidak kamu suka, aku berusaha menjadi suami yang baik, aku takut Maryam, Allah menghukumku karna tak sanggup mendidikmu menjadi istri yang solihah..” Abdullah menyeka air matanya. Aku terdiam. “bisakah, kamu terima keadaanku? Bisakah, kamu belajar mencintaiku bukan karna penampilan fisik saja? tapi cintailah aku karna Allah.. cukup Allah saja yang kamu jadikan alasan untuk menerima keadaanku ini, jika kamu memang sudah tak sudi mencintaiku karna alasan yang lain..” kami terdiam cukup lama. “maafkan aku mas, aku nggak bisa.. tolong ceraikan aku,” aku berlari menjauhinya, aku pergi dari rumah.

Sepanjang jalan aku menangis, hatiku perih sekali. Demi Allah Abdullah, aku berusaha mencintaimu, tapi aku tak bisa.. batinku sesak. “Maryam..” dari arah belakang ku dengar suara seorang wanita. Aku menoleh. “dokter Almira!” aku memeluknya seperti anak ayam yang merindukan induknya. Saat ini aku memang sedang butuh seseorang untuk berbagi. “loh, kok nangis? Ada apa? Yuk kita ngobrol di gerai situ bentar,” dokter Almira menarik lenganku. Mengajakku duduk di gerai makanan itu. Dia memesan capuccino untuk kami berdua. “ada apa ini? Kenapa sendirian? Mana suamimu?” tanyanya pelan. Ia mengelus pundakku dengan lembut. “7 bulan dokter, 7 bulan lamanya saya berusaha mempertahankan pernikahan ini.. saya nggak mau mengecewakan kedua orang tua saya, tapi saya nggak tahan, saya nggak bisa menerima kekurangannya..” aku terisak. “sabar ya.. tapi, apa sebenarnya kekurangan Abdullah? Setau saya, dia itu orang yang sangat baik, saya fikir kamu sudah berbahagia dengannya,” dokter Almira menatapku dalam-dalam. “saya nggak bisa mencintai dia, benar-benar nggak bisa, saya jijik melihat kondisinya yang buta, saya sudah berusaha untuk menerima ini semua, tapi tiap kali saya di dekatnya, hanya ada rasa benci dan jijik..” aku menangis lagi. “astaghfirullah.. Maryam, bagaimana mungkin kamu bisa berkata seperti itu? Bukankah dia buta karna memberikan sepasang matanya kepadamu?” aku tersentak kaget. Dadaku serasa di hujami ribuan ton. “apa dok?” aku ternganga tak percaya. “loh, kamu nggak tau, kalau matamu itu mata Abdullah? Sebelum kamu menerima lamaran Abdullah untuk yang kedua kalinya, dia mendonorkan matanya untukmu, dia bilang, kamu itu wanita yang tulus, sebelum kecelakaan yang merenggut penglihatanmu, kamu pernah berkata kepada ibumu, bahwa kamu akan menerima siapapun calon suamimu, walau dia buta, lumpuh, bisu bahkan kusta sekalipun kamu akan tetap menerimanya, kamu hanya berharap memiliki suami yang baik aqidahnya..” air mataku semakin deras mengalir, “astaghfirullah..” desahku, “makasih dok,” aku memeluknya lalu berlari pergi.


Aku berlari memasuki rumahku, ku cari-cari Abdullah di setiap sudut rumah. Ku lihat dapur sudah bersih, rupanya suamiku membersihkan tumpahan panci tadi. Air mataku menetes, ya Allah.. siapakah aku ini? Bagaimana bisa, aku tidak bersyukur atas hamba terbaik yang Kau pilihkan untuk mendampingi hidupku? Di mana lagi akan ku temui suami sebaik dia? Maha Suci Engkau ya Allah.. ampuni aku. Batinku menangis. Samar-samar ku dengar lantunan ayat suci al qur’an, suamiku ada di belakang! Hampir saja aku menjerit saking bahagianya, aku berlari ke belakang, dadaku di penuhi cinta. Aku melihat punggung suamiku, terus ku dengarkan bacaan qur’annya sampai ia berhenti dan menutup quran itu. “aku mencium wangi tubuh istriku.. sayang ada di mana? Maafkan mas..” suamiku memutar tubuhnya, ia berdiri dan menerka-nerka aku ada di mana dengan tongkatnya. Aku mendekatinya, ku ambil tongkatnya dan ku letakkan di lantai. Ku genggam kedua jemarinya dengan jemariku. “subhanallah..” dia mencium jemariku dengan lembut. “kenapa nggak nyariin aku tadi?? mas jahat!” aku mencubit pelan lengannya. “ma-maaf..” ku rasakan tubuh suamiku bergetar. 7 bulan lamanya, tak pernah kami berhadapan sedekat ini, sejak awal pernikahan. “sayang, jangan pernah ucapkan kata cerai lagi ya? Mas tau ini salah mas, tapi..” sebelum ia sempat menyelesaikan ucapannya, aku keburu memotong ucapannya dengan bibirku, ciuman hangat yang begitu manis. “subhanallah,” desahnya ketika aku melepaskan bibirku dari bibirnya. “aku mencintaimu Hanif Abdullah.. saat ini, bidadari surga pun tengah cemburu padaku, pria yang mereka rindukan untuk bercinta dengan mereka di surga, tidak akan pernah mereka dapatkan..” aku mencium kedua mata suamiku dengan penuh rasa sayang. “Alhamdulillah..” hanya itu yang terlontar dari bibir suamiku, dia memelukku dengan erat

“..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui..”
QS 2 : 216

*Maryam Fhebyo Khathab, Bumi Allah, 18 Mei 2010, ^_^V


No comments:

Post a Comment